31.5.07

Poligami (Basi Gak Ya?)

Mungkin bahasan tentang poligami udah basi ya? Dalam tulisan ini saya nggak pengen memperpanjang polemik tentang Poligami itu sendiri, namun saya hanya ingin berbagi cerita seputar kehidupan pelaku poligami itu sendiri. Tentunya contoh yang ingin saya bagi adalah contoh yang menurut saya sangat ideal. Saya hanya mencoba memandang sisi lain (yang baik) dari sebuah kehidupan poligami.
Adalah Ummi Faeqa’ saya mengenalnya. Nama lengkap beliau saya kurang tahu. Kami terbiasa memanggil beliau dengan sebutan Ummi. Beliau adalah saudara seayah dari Almarhumah Ibuku. Seingatku dulu ketika beliau menikah saya datang dengan ibu ke Banjarpanji Sidoarjo. Usiaku masih balita kayaknya. Lama tak terdengar kabarnya saya baru sambung silaturahmi dengan beliau setelah saya bersekolah di Sidoarjo. Tali silaturahmi yang sempat tersendat karena jarak yang terbentang akhirnya terurai lagi ketika saya menuntut ilmu di Kota Petis. Ternyata beliau sekarang bermukim di Pacet Mojokerto. Dan telah mengelola sebuah Pondok Pesantren yang cukup besar disana bersama keluarga besarnya. Ternyata suaminya, KH Mahfud Syaubari (Ustadz) adalah pemangku Pondok Roudhotul Jannah dan telah beristri empat orang. Subhanallah. Kronologis poligami itu kudengar sendiri dari Ummi yang notabene adalah bulik saya sendiri.
Suatu saat pada sebuah acara sunatan anak pertama ibu kost saya di Sidoarjo (adik ibu kos saya ikut mondok juga di Pacet, dan kakak ipar ibu kos ku juga temen akrab Ustadz), Ummi beserta ketiga ibu yang lain datang di resepsi tersebut. Kemudian ditengah-tengah ibu-ibu yang hadir ditempat itu, beliau memperkenalkan saya dan ketiga ibu disitu.
“Yang ini adalah keponakan saya, dan yang pakai baju sama tiga orang itu, yang agak tinggi ibu nomor dua, yang agak kecil ibu nomer tiga, dan yang duduk disampingnya itu ibu nomor empat.” Seketika ruangan tersebut terjadi kehebohan sesaat. Saya lihat wajah ibu-ibu di ruangan tersebut…yang jelas semua terperangah…(hampir memble ngkali..) trus ada yang klesik-klesik dengan sebelahnya, ada yang senyum-senyum sambil memandangi mereka berempat, trus ada yang berani nyeletuk, Wah..kok bisa ya?” Kulihat keempat ibu itu hanya tersenyum penuh arti.
Kemudian suatu saat klarifikasi dari Ummi kudengar. Cerita tentang ibu kedua adalah…Ketika Ummi nawarin ke Ustadz (asli nawarin bo?!) ada santri senior yang selama ini ikut ngajar adik-adik santri, gimana kalo di kersakne (kalo pake bhs Ind kurang alus) Ustadz sendiri aja? Trus demi ditawarin yang ini Ustadznya diam aja, dan menurut Ummi diamnya seorang Ustadz adalah “Iya” Lhadalah….akhirnya menikahlah Ustadz dengan ibu kedua.
Komentar Ummi ketika ditangisi sama Ibunya, “Lho kan enak kalo kami habis ngaji dari luar kota (Ummi & Ustadz) saya bisa istirahat dengan baik sementara Ustadznya ada yang mijeti sendiri?!”Lhadalah…. enteng banget jawabnya.
Dengan ibu yang ketiga ceritanya hampir sama, Ustadz ditawari dan diam aja akhirnya dinikahkan oleh Ummi. Sementara dengan ibu yang keempat ceritanya agak sedikit beda, lebih seru.
Ada seorang santriwati senior yang saat itu diperistri oleh sahabat Ustadz yang orang Arab. Hanya karena kesibukan suaminya sebagai pengusaha ia tidak diboyong ke Arab, namun tetap dalam aktifitasnya mengajar adik-adik santri di Pondok. Namun seiring berjalannya waktu, orangtua sebut saja Ibu Endang tidak merestui hubungan suami istri yang berjauhan tersebut, sehingga disarankan untuk bercerai saja. Singkat cerita hubungan suami istri antara Ibu Endang dan sahabat Ustadz yang orang Arab kandas ditengah jalan. Dan demi melihat pemandangan tersebut setelah melewati masa iddah kembali peran Ummi diperhitungkan. Kembali Ummi menawari Ustadz dengan kalimat kurang lebih begini, “Ustadz, itu santri seniornya selama ini ikut ngajar adik-adik santri. Bagaimana kalau sekalian diperistri, kan masih kurang satu?” Daripada nanti diminta orang lain yang belum tentu baik kenapa nggak dikersakne sendiri saja?”. Dan lagi-lagi sang Ustadz hanya bisa diam aja dengan rencana istri pertamanya itu. Akhirnya akad nikah dilangsungkan di Pondok Pesantren itu juga, dengan menghadirkan orang tua dari Ibu Endang. Alhamdulillah, lega…sudah genap empat, berarti satu tugas saya selesai. Mungkin begitu kira-kira benak Ummi’.
Hebatnya lagi selain ketiga istri yang lain Ummi yang mencarikan untuk Ustadz, beliau-beliau ini hidup dalam satu atap, alias satu rumah tapi ya jelas dengan ruangan yang bedalah. Mereka hidup sangattt rukun. Sengaja saya tulis kalimat sangattt dengan triple T karena kehidupan mereka lebih dari rukun. Tak pernah terdengar pertengkaran berarti, malah yang ada adalah saling dukung. Karena aktifitas Ustadz yang luar biasa sehingga sering berganti-ganti ibu yang mendampingi beliau ke luar kota. Jika kebetulan harus mengajak ibu yang sedang menyusui anaknya, sementara tak mungkin membawa sang anak serta maka dengan otomatis ibu-ibu yang lain segera ikut menyusui anak yang harus ditinggal tadi.Subhanallah….Juga ketika mereka berangkat haji berlima, Kata Ustadz waktu itu, “Wah enak kalau bisa haji barengan gini, karena saya ngga perlu mengkhawatirkan atau harus nganter-nganter ibu-ibu, karena mereka udah kompakan sendiri kalau mau jalan ke masjid, makan, belanja n so on, malah saya yang sering ditinggal-tinggal.” Subhanallah…
Cerita tentang beliau-beliau ini tak akan pernah habis…belum cerita tentang anak-anaknya. Belum cerita tentang tempat tinggalnya, semua luar biasa menurut saya. Akan kuceritakan bersambung saja....takutnya terlalu panjang jadi nggak istimewa lagi.
Semoga apa yang saya lihat dan kuimplementasikan dalam sebuah tulisan tak mengurangi makna dan takzim saya kepada keluarga besar KH Mahfud Syaubari, beliau-beliau adalah contoh yang nyata yang semoga bisa memberi kontribusi bagi keimanan dan kecintaan kita padaNya. Dan semoga berkah dan rahmah Allah senantiasa menjaga hati dan jiwa beliau-beliau sehingga mereka layak untuk tempat kita bercermin.
Bi Barakatillah.

Ujung, 31.05.07
Yang dari kemaren ingin memberi penanda di akhir bulan Mei 2007 tempat nongkrong dengan piaraannya di siu-elha.blogspot.com


baca selanjutnya...

29.5.07

Seni Berjuang dalam Menggenggam Hasil ...(Walah Serius Men judulnya)

Berteriaklah pada kami,
Maka kami akan mengangkat trofi
(Duddy Fachruddin)


Tulisan diatas yang mengilhami saya untuk menulis artikel ini. (Makasih yo Mas).
Saya ingat ketika saya harus menyelesaikan kuliah dulu. Harus berdarah-darah…(perasaan kok aku suka menggunakan kalimat itu seeh?!). Dan hampir nggak kelar. Padahal cuma nempuh D3. Rasanya berattt banget kul sambil kerja. Pulang kerja menjelang Maghrib trus harus cepet-cepet mandi n sholat kalau mau mengejar kuliah. Bahkan ada dua mata kuliah yang sering kutinggalkan karena waktunya berbenturan dengan jam kerja di kantorku. Sehingga saya harus memohon-mohon untuk bisa lulus di mata kuliah tersebut. Alhasil walaupun akhirnya diberi tugas dan hasil ujian dengan nilai A saya tetap harus puas dengan nilai kumulatif C, karena absensiku bernilai E. Pun ketika di semester keempat saya harus bertugas ke Jakarta selama kurang lebih 6 bulan. Kuliahku naga-naganya bakal ancur deh…kalau nggak ada temen-temen yang baik hati ikut memperjuangkan kuliahku. Mereka ikut melobi dosen-dosen yang kutinggalkan kuliahnya. Dan Alhamdulillah dengan seijin Allah, walaupun kutinggalkan selama 6 bulan aku masih diijinkan untuk mengikuti UAS. Subhanallah wal hamdulillah. Akhirnya aku ngebut di semester 5 dan 6. Bersyukurnya lagi selama tiga tahun kuliah bayar kuliahnya cuma 1 tahun karena saya rajin mengurus bea siswa.
Dan ketentuan takdir itu harus kujalani ditengah kuliahku yang nyaris kelar…menikah! Aku agak down lagi khawatir kuliah ini terhambat,…padahal saat itu udah di pertengahan semester terakhir. Hingga kalimat sakti itu membakar semangatku untuk menyelesaikan skripsiku as soon as possible. Ada seorang entah sirik entah memang ingin menantangku bilang “Alahhhh, paling juga kuliahnya bakalan terhenti karena nikah, dia kuliah kan cuma buat gaya aja, biar cepet dapet jodoh?!, Ditunggu aja !!”
Haaa…?! Sempat speechless denger dia ngomong seperti itu. Yang jelas ngomongnya gak di depanku. Tapi syukurlah kalimat seperti itu sempat terlontar dan sempat kudengar walaupun dari mulut orang lain. Karena demi mendengar kalimat itu energiku untuk menyelesaikan bab demi bab skripsiku menjadi beribu-ribu kali lipat. Subhanallah…mestinya dia harus kutulis nomer satu di lembar terima kasihku (sayang waktu itu gak kepikir) Mungkin akan kutulis seperti ini, “Terima kasih kepada ….karena Skripsi ini dapat tersusun cepat dan dengan energi penuh atas umpatannya kepada saya” Juga ketika menginjak bab ke –3 dan waktu pengumpulan skripsi kurang 3 minggu saya harus menjalani operasi KET (hamil di luar kandungan). Saat itu rasanya bener-bener ilang confidence, rasanya gak mungkin aja nyelesain bab utama dari skripsiku dalam waktu 3 minggu disela-sela Idul Fitri lagi. Belum cari data, belum bikin hasilnya. Untunglah kalimat pembakar itu datang lagi…kali ini bukan dari orang yang sama, tapi dari suamku sendiri, “Apapun yang terjadi kuliahmu harus kelar…ibarat main bola kamu tinggal ceploskan bola ke gawang, kenapa harus ragu, ayo kamu pasti bisa!!.” Akhirnya dengan Bismillah aku lanjutkan skripsi dengan kecepatan 200km/jam. Sampai ketika ketiduran karena lelah, dan terbangun harus geragapan (bhs Ind. –nya apa sih?) ngelanjutin begadang di depan komputer. Jam berapapun saya bangun pasti langsung ngadhep komputer lagi. Paling cuma diselingi Ishoma dan kerja. Tak lupa sms cinta dari suamiku yang terus setia menemaniku di jam-jam sunyi, walaupun kami masih jauhan (dia di Bandung sementara saya di Surabaya). Akhirnya hari bersejarah itu tiba juga, aku menghadapi Ujian Skripsi! karena skripsiku udah kelar sehari menjelang batas akhir pengumpulan. Dan Luar biasanya lagi, ketika akan berangkat ujian sempat ngetest urine karena udah telat seminggu, hasilnya positif!!! Subhanallah…
Dengan iringan do’a suami yang hari itu khusus dateng dari Bandung untuk menjadi suporter fanatikku, saya maju ujian, hasilnya lumayan untuk proyek yang agak tergesa-gesa, B+. Agak meleset dari target A. Karena memang saat ujian saya hilang konsen akibat berita kehamilan yang cukup menghebohkan hati saya. Namun diatas itu semua saya sungguh bersyukur, bisa mampu menyelesaikan kuliah dengan IPK kumulatif 3,…Walaupun harus berdarah-darah…(tuh kan mulai lagi bahasanya!). Jika tak ada cemoohan, jika tak ada pelecut, jika tak ada tulus do’a orang-orang terkasih di sekitar saya, jika tak ada kesempatan, jika tak ada kemauan, jika tak ada strong struggle (weleh..), jika tak ada tangisan dari kesungguhan do’a, Jika tak ada Ijin dan IradahNya, rasanya saya tak akan mampu. Sungguh…!
Inilah kalimat yang kutulis pada lembar persembahanku :

Kepada abahku dan almarhumah ibuku, tak ada yang mampu kuucap selain terimakasih yang tak terhingga atas do’a restu serta kasih sayangnya selama perjalanan hidupku hingga kini,
Kepada keempat kakakku, terimakasih atas dukungan semangat, do’a dan kasih yang tercurah padaku,
Dan….
Kepada Suamiku tercinta, terimakasih atas segala dukungan, tulus do’amu dan sepenuh cintamu, sehingga kulalui semua dengan penuh semangat.

Semoga Allah membalas segalanya, karena Dialah Pembalas segala Cinta.

Ujung,28.05.07
Yang mencoba mengingat kembali tentang arti sebuah perjuangan
Ketika kita tengah dilecehkan
Ketika kita sedang diremehkan
Semoga semua itu tak mampu melelehkan hatimu
Karena saat itu engkau sedang ditarbiyah
Karena yang berhak atas segalanya adalah Dia!!


baca selanjutnya...

25.5.07

Mimpi Di Siang Bolong

Mimpi jika terus di suggesti akan menjadi sebuah ambisi, dan semoga bisa membawa berkah tersendiri, dan tidak berhenti menjadi mimpi
Pernah suatu ketika saya mendapat voucher One Night Stay in Mandarin Oriental Hotel (Hotel Majapahit yang legendaris itu). Pastinya seneng sekali…apalagi Mas Gangga…. Hanya jujur aja selalu memunculkan satu kegelisahan di hati saya. Gelisah karena satu sisi hal-hal yang berbau kemewahan (bagi saya bisa tidur di hotel five star adalah satu kemewahan) seperti itu bisa menimbulkan dampak kurang baik bagi Mas Gangga. Saya takut ia menganggap bahwa hal-hal yang berbau kemewahan adalah sesuatu yang wajar karena memang seharusnya begitu, dan itu bukan sesuatu yang layak untuk diperjuangkan. Intinya saya takut itu menghilangkan sense of struggle-nya. Jadi sebelum berangkat saya memikirkan hal apa yang bisa saya masukkan di benak Mas Gangga, agar momen itu memberi sesuatu yang yang lain yang sedikit beda minimal untuk sense of struggle tadi. Saya tahu akan banyak pernyataan Mas Gangga semacam ini, “ Enak ya Bunda tidur di hotel” , “Aku maunya nggak pulang enak tidur di hotel saja” n so on. Apalagi breakfastnya uenakk…Hotel Majapahit terkenal dengan makanannya yang maknyussss.. “Aku suka makan yang seperti ini Bunda”, Nah itu kan…sudah mulai…dirasakan kenyamanannya…Belum pas renang, langsung deh muncul komentar seperti ini, “Bunda aku mau punya rumah yang ada kolam renangnya!” Lhadalah… Belum pas mandi di kamar mandinya yang luasnya hampir dua kali tempat tidur kami, “Bunda enak mandi disini, nggak usah pulang aja Bunda!” Tuh kan..kumat lagi….Trus nggak mau mentas-mentas karena asyik mandi di bath-up sama adek Gautama. Udah deh sepanjang hari pembicaraan kami seputar tidur di hotel. Dan kesempatan ini tak kusia-siakan karena tiba-tiba terlintas ide untuk memasukkan sesuatu di benak Mas Gangga, Ketika ia berkata, “Bunda Hotelnya bagus ya?”
“Ya , Sayang, Nanti jika kamu sudah besar, bangun rumah seperti ini, Nak!, Tampung anak-anak yatim piatu dirumahmu, rawatlah mereka, cintailah mereka, Insyaallah kamu juga akan dicintai oleh Allah!” Mungkin orang yang mendengar dialog itu akan tertawa.
Juga ketika suatu saat didepan rumah ada peminta-minta seusia Mas Gangga sambil bawa ecek-ecek, kesempatan bagiku untuk mengingatkannya akan ‘mimpi’ itu, “Lihat itu Nak, mereka anak yang kurang beruntung, karena untuk makan, untuk sekolah mereka harus mencari uang sendiri dengan meminta belas kasih orang, Jadi jika nanti kamu mampu buatkan mereka sekolah ya Nak, agar mereka tak harus meminta-minta lagi.”
Barangkali kalimat-kalimat saya adalah mimpi-mimpi di siang bolong, namun saya yakin, kalimat yang kukeluarkan dengan dari hati, semoga juga sampai ke hati anak-anak saya,semoga dialog-dialog yang ‘tanpa sengaja’ ini memberi inspirasi dibenak mereka kelak. Dan anak-anak akan mengingat kalimat itu sebagai suatu cambuk untuk merealisasikan mimpi-mimpi di siang bolong itu .Semoga Allah Meridhoinya, Bi Barakatillah…
Pacarkembang, 24.05.07
Jika dengan cinta dapat merengkuh semua,
Maka tebarkanlah Cinta, agar damai selamanya

(mimpi itu terinspirasi oleh dialog Ust Fauzil Adhim dg anak-anaknya)

baca selanjutnya...

22.5.07

Kerinduan untuk Pulang

Tak kusia-siakan untuk pulang ke kampung halamanku, rencana kepulangan yang sempat tertunda-tunda beberapa saat yang lalu akhirnya ditakdirkan untuk kulaksanakan pas liburan kali ini. Pulang…
Pulang selalu memberi nuansa sentimentil buatku. Rindu yang terselip jauhhh di lubuk hati saya. Kampung halaman selalu mengingatkan masa-masa kecil saya. Nostalgia dengan keluarga besar saya, dan memori-memori indah dengan temen2 saya. Juga disanalah jasad pengukir jiwa raga saya beristirahat dengan tenang, ah ibu…Pulang selalu menyisakan asa rindu yang luar biasa terhadap sosok kehadiranmu. Namun saya sadar Ibu sudah tenang dalam istirahat abadinya.
Abah…selalu always untuk Abah. Sosok pujaan saya. Pulang selalu menjadi obat rindu saya buatnya.
Pulang memang selalu membahagiakan, dan menjadi makanan bagi jiwa kita. Pulang selalu memberi warna baru dalam benak kita. Apalagi dalam pulang kita banyak membawa buah tangan, dan dalam perjalanan kita terasa nyaman karena kita telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Bahagia itu jelas.
Namun pertanyaannya adalah jika dalam ‘pulang kecil’ aja hati ini sudah ruar biasa bahagia, mestinya ‘pulang abadi’ akan menjadi sesuatu yang lebih dahsyat lagi, bukan? Sesuatu yang paling ditunggu-tunggu karena kerinduannya lebih abadi…
Sudahkah kita berbahagia dengan kepulangan abadi kita(saya?)? Cukupkah bekal kita(saya?) untuk bisa membuat perjalanan ‘pulang abadi’ nanti terasa nyaman? Dan sudahkah kita(saya) mempersiapkan ‘buah tangan’ untuk kepulangan kita(saya) di rumahNya? Rumah(ku) kita sesungguhnya? Ah Rabb, masih pantaskah saya pulang kerumahMu dengan pakaian compang-camping seperti ini? Selain saya mengharap Engkau ‘mengongkosi’ perjalanan pulang saya nanti? Karena saya tahu diri, tabungan saya tak akan mampu membayar ‘ongkos’ perjalanan pulang saya terasa nyaman. Hanya dalam kemuliaanMu Ya Jalil…saya mengharap dan memohon…
Kemana lagi jika tidak dalam luasnya Rahman RahimMu…yang luasnya melebihi murkaMu..

17.05.07
Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah
Irji’I illaa robbiki rodhiyatam mardhiyyah
Semoga panggilan dengan kalimat diatas
yang akan menyertai kepulangan saya someday
Amin Allahumma amin….

baca selanjutnya...

Liburan Berwarna

Hore…Liburan empat hari… detik2 menjelang hari H-nya ternyata begitu padat agenda yang harus kami jalani, dan sehari menjelang tanggal merah ada surat pemberitahuan dari sekolah Mas Gangga bahwa hari Kamis tgl 17 Mei 2007 masuk seperti biasa, Oh My God! Rencana yang sudah tharik-tharik bisa buyar seketika. Akhirnya diambil jalan kompromi karena tak mungkin mengabaikan sekolah Mas Gangga walaupun dia masih duduk di TK A, serta sebenarnya materi pelajaran dia untuk semester ini sudah habis tinggal latihan untuk prosesi wisuda TK B bulan Juni nanti. So kita nunggu Mas Gangga pulang sekolah untuk ke Tulungagung, kangen sama sate Mbah Kung. Sudah lama rencana ke Tulungagung dan baru terlaksana hari itu, itupun ternyata kita gak bisa lama-lama disana, Cuma 1 hari, hari Kamis sore nyampe, hari Jum’at sore harus balik ke Surabaya karena Sabtu pagi bojoku harus ngantor, aduhhhh nggak enak banget….
untungnya ada hiburan, disela liburan ke Tulungagung kami di telepon dari BCA center bahwa kita berdua diundang nonton bareng ‘Spiderman 3’ di 21 TP 2, yah sebenarnya bukan film yang priorited untuk ditonton tapi kalo gratis yah…laen cerita ya?idep-idep hiburan n pacaran sama bojo. Lama banget nggak nonton berdua, berhubung ini dipaksa nonton berdua ya syukurlah…he2 .
Sepulang nonton sabtu siang kami mampir ke Grapari, Soalnya pas di Tulungagung hapeku dapet telepon nyasar, trus dianya nggak terima banget, nyari orang namanya Ina…dan yang jelas mengganggu banget. Bayangin enak2 tidur hape berkali-kali berdering dan ngeyel banget nyari cewek namanya Ina.Grmhhhh…!!!Akhirnya jurus pamungkas kulakukan kukasihkan hape ke suami “Pliss jawab deh…aku sudah nggak tawar lagi!!!”
Eh..malah marah-marah ngaku anggota DPR, “Jangan main-main dengan saya!” duh kasar banget pokoknya. Yah…itu salah satu gangguan liburan kali ini, makanya langsung kuhubungi Customer Service, n disarankan untuk langsung ke Grapari terdekat. Jadilah Sabtu siang kami ke Grapari tapi jawabnya juga nggak muasin, intinya suruh ganti nomer aja, yeee…itu mah bukan solusi, enak di elo gak enak di gue…!(kok jadi sewot!, kalau ngerasa nggak nyaman ya udah gak usah bawa hape, gitu aja repot).
Trus sepulang dari Grapari, buat ngilangin kesel yah..makan aja, udah waktu makan siang. Kebetulan bojoku punya janji nraktir ke Sup Iga Goreng..uihh sedapp, impas deh buat buang kesel. Tempatnya di dari arah Sekolah Santa Maria jalan Darmo, belok memutar langsung ambil jalur kiri n belok ke kiri…nah tempatnya pas di pojokan situ… kalau tempat sih biasa aja tapi masakannya ruarrr biasa…mak nyusss.
Udah sesiangan muter-muter jadi 50 + 50 = cape’ dehhh, so pulang yuk! Di rumah…becandaa aja ama anak-anak n istirahat karena besok masih ada dua agenda yang harus kita jalani.
Pagi itu rada males-malesan, karena agenda pokok hari ini agak sorean dan satunya malem ba’da Maghrib. Mas Gangga di ajak ayah nonton Festival Tahunan Perahu Hias di Sungai Kalimas. Sementara aku bersih-bersih rumah n nyiapin kado buat temen Mas Gangga yang hari ini akan berulangtahun, nanti sore. Akhirnya bisa istirahat agak panjang dan puasss. Cuma karena tak terbiasa tidur siang jadi terkaget-kaget waktu tidur. Sorenya selepas sholat Ashar berangkat nganterin Mas Gangga ke Plasa Surabaya, sambil nunggu acara selesai saya ajak adek jalan-jalan naik turun eskalator, aduh capek juga…naik turunin adek…kayak wong ndeso untung sandalnya nggak sekalian ditenteng..
Pas Maghrib acara usai, dan selepas sholat Maghrib, harus segera tancap lagi ngikutin acara Bangkit Indonesia Emas bersama Ary Ginanjar, Opick , Uje n MC Agus Idwar di GOR Kertajaya. Jam 19.00 tepat aku nyampe di lokasi acara, langsung nuker kwitansi dengan undangan, ssttt undangan ini gratis berkah dari kepanitiaanku dalam Kegiatan kerohanian di PT PAL. (Alhamdulillah). Acara dibuka dengan manis oleh MC dengan satu lagu (aku gak kenal, tapi lagune maniss juga), trus langsung digebrak oleh Opick dengan Laailahaaillallah. Dilanjutkan dengan Tombo Ati, Syukur, Astagfirullah, Bila Waktu Tiba. Trus dia undur diri, Opick memang oke deh..Kemudian muncul Agus Idwar lagi untuk memanggil Ustadz Jefri, penampilannya dibuka dengan Shalawat Nabi, suara Uje indah sekali…. Trus ceramah diselingi lagu Subhanallah penampilan Uje kurang lebih 1 jam. Gong acara ini adalah materi Kebangkitan Nasional oleh Pak Ary Ginanjar. Materinya sangat bagus di dukung soundsystem yang menggelegar khas ESQ. Tentang Kaum Luth, Kaum Tsamud dan Perjalanan Fir’aun. Materinya sangat bagus dan luar biasa… sayang kekhusyu’an dan penampilan Pak Ary Ginanjar yang all out sedikit terganggu oleh lalu lalang orang-orang yang sebagian memilih pulang karena malam memang telah larut. Dan kayaknya yang pulang-pulang itu adalah undangan namun bukan Alumni ESQ sehingga sepertinya kurang menikmati ruh acara hari itu, yang memang dihelat Forum Komunikasi Alumni ESQ Jatim untuk Para Alumni ESQ Jawa Timur. But whatever acaranya bagus dan terimakasih buat teman-teman di ESQ yang telah memberi kesejukan ditengah carut marutnya bangsa ini. Semoga misi dan visi Bangkit Indonesia Emas 2020 dapat terwujud dengan Ridho dan Iradah Allah SWT. Amin.
Liburan yang berwarna…tapi aku seneng..

21.05.07



baca selanjutnya...

4.5.07

Padhang Mbulan




Hari Selasa tanggal 1 Mei 2007, nggak sengaja karena pulang ngantor agak telat melihat bulan ndadari yang baru terbit. Kebetulan jalan yang kulewati pas menghadap kecantikan bulan itu. Yah seandainya bawa kamera pasti bagus deh…
Soalnya begitu nyampe rumah momen bulan sudah lain, sudah agak tinggi sehingga sudah terlihat agak kecil. Padhang Mbulan …saya inget dulu ketika masih aktif dengan pengajian padhang mbulane Kyai Mbeling, Emha Ainun Nadjib. Dibela-belain pulang kantor langsung cabut ke Menturo, Jombang naik motor ama temen-temen. Trus… ngikutin diskusi ama Cak Nun sampai menjelang Subuh, trus ngobrol-ngobrol lagi sambil cari kopi susu panas-panas, ato kalau laper ya cari makan di sekitar situ menunggu Subuh tiba. Atau yang gak kuat ya tidur. Pulang dari sana badan jadi seger, pikiran entheng, jiwa jadi adem…trus kerja lagi. Kupikir dulu kita memang agak gila…apalagi yang berbau Cak Nun, sampai setiap ada buku barunya kita berebut membelinya. Kalau ada acara di Surabaya pasti dibela-belain dateng apapun resikonya. Pernah pas ada bedah buku di Unair pembicaranya Cak Nun dan Gus Dur, Kebetulan kami telat dan na’asnya lagi ternyata masuknya harus pake undangan, padahal info awalnya gratis. Sementara undangan tidak dijual go show, waduh, tiwas udah nyampe di lokasi!! Temen yang ngajak jadi gak enak hati, namun karena kepalang basah, ya udah nunggu momen aja, pasti bisa masuk, stel yakin aja. Nah Kesempatan itu ternyata datang juga, Gus Dur yang memang masih ditunggu kehadirannya baru dateng, dan dengan gaya sok akrab aku ngikut aja dibelakang Gus Dur, ajaib, gak ada yang nanya, mungkin dikirain emang santrinya yang ikut nuntun Gus Dur kali ye? Walhasil aku bisa duduk manis di dalam, ngikutin acara dengan khusyu’ he..he… kalau udah cinta emang tak lari kemana deh…!
Juga kalau pas hari Ahad, Minggu terakhir setiap bulannya Cak Nun punya hajat di Masjid Al Akbar Surabaya, Acara Shalawatan, (nggak tau apa sekarang masih eksis), Seneng juga hadir disana. Nah yang terbaru sekarang ada di Surabaya, Bang-bang Wetan, belum pernah hadir sih, walaupun pengen…sekarang kondisinya agak lain, udah punya buntut 2, itu ‘kendalanya’ Acaranya di Balai Kota jam 7 malem, setiap malem tgl 14 penanggalan hijriyah, jadi kalau di Menturo, Jombang persis malem padhang mbulan kalau di Bang-Bang Wetan sehari sebelumnya, setiap bulannya. Someday InsyaAllah aku pasti kesana, soalnya masih ‘cinta’ ama Cak Nun.
Pacar Kembang,2 Mei 2007

baca selanjutnya...

3.5.07

aku terpeleset

Ketika dulu suamiku melupakan hari ulang tahunku, aku menangis merasa bukan seseorang yang perlu ‘diperjuangkan’ minimal dipikirkan, berpikir ia tak sayang, ia tak cinta…n so on. Ketika hari ulang tahun pernikahan kami dia malah keluar kota tugas kantor, aku ngambek…, aku marah….kok dia gak romantis blasss..bahkan pernah kami berdialog begini,:
“Mas inget gak hari ini hari apa?”tanyaku
“Inget, hari Senin”,jawabnya
“Inget gak ada apa dengan hari ini?” kejarku,
“Inget, hari ini hari ulang tahun pernikahan kita!” jawabnya
“Trus…?!”kejarku lagi
“Trus…aku disuruh ngapain?!” jawabnya tanpa dosa.
Nah lho…keki gak?!
Salah gak kalau aku sempat sewot sampai di ubun-ubun….panassss membara di dada…

Namun lewat perenungan yang beratttt sekali…akhirnya ada pencerahan (ato menghibur diri sih?) Untuk urusan Ultah, kupikir itu nafsi-nafsi alias urusan kita ama Tuhan, Kalau kita mau nyadar bahwa ulang tahun adalah momen kita untuk mengevaluasi diri, bermuhasabah dengan berkurangnya usia kita setahun, so…kenapa harus ikut melibatkan dan merepotkan orang lain gitu loh! Apalagi nyuruh orang lain nginget-nginget ulang tahun kita, sebodo amat ah!

Untuk urusan ulang tahun pernikahan, esensinya kupikir juga sama dengan ulang tahun kita kan? Biarlah itu menjadi urusan kita dengan yang Maha Mengetahui segala gerik hati kita. Kalaupun ada janji dan target untuk menjadi lebih baik, biarlah itu menjadi janji kita pada Allah saja, tak perlu melibatkan pribadi yang lain, pun itu suami.

Setiap biduk rumah tangga punya warna dan gaya masing-masing. Dan yang sering terjadi adalah merasa rumput di taman sebelah lebih indah dan lebih berwarna dari halaman kita. Sekuat apapun kita merawatnya. Dan kadang itu melelahkan ya? Apa lagi dengan dukungan model slenge’an ala suamiku, (makan ati tau?!)
Tapi sungguh hanya kedalaman Cinta yang mampu mengembalikan diriku ke tempat asalnya. Tempat Cinta bermuara, kemana lagi jika dalam luas dan dalamnya Rahman RahimNya?

Namun entah kenapa kekhusyu’an cinta itu ternoda beberapa hari ini, keagungan cinta yang kudengungkan harus guncang dengan atas nama kasih sayang. (bingung ya?…yo ben!?), kalau lewat perenungan yang dalam dan beratttt kemaren2 mampu meredam emosiku, sekarang tidak lagi, aku merasa tak diperhatikannya lagi, aku merasa tak dihiraukannya lagi, aku merasa tak disayanginya lagi, aku merasa tak diperlukannya lagi,
Salahkah kalau sometimes aku dihargai walaupun sekali?
Salahkah kalau sometimes aku ingin sedikit ‘diperjuangkan’ walau sekali?
Salahkah kalau sekali saja aku menjadi yang utama?
Agar aku tidak terus merasa sosok yang terpinggirkan?

Ah ternyata aku juga manusia (gedubrak!?) whalahhhh!!!!
Aku terpeleset…dalam dogma yang kubuat sendiri.

Ujung, 03.05.07
Aku yang hanya ingin diam dalam liputan bara

baca selanjutnya...