Poligami (Basi Gak Ya?)
Mungkin bahasan tentang poligami udah basi ya? Dalam tulisan ini saya nggak pengen memperpanjang polemik tentang Poligami itu sendiri, namun saya hanya ingin berbagi cerita seputar kehidupan pelaku poligami itu sendiri. Tentunya contoh yang ingin saya bagi adalah contoh yang menurut saya sangat ideal. Saya hanya mencoba memandang sisi lain (yang baik) dari sebuah kehidupan poligami.
Adalah Ummi Faeqa’ saya mengenalnya. Nama lengkap beliau saya kurang tahu. Kami terbiasa memanggil beliau dengan sebutan Ummi. Beliau adalah saudara seayah dari Almarhumah Ibuku. Seingatku dulu ketika beliau menikah saya datang dengan ibu ke Banjarpanji Sidoarjo. Usiaku masih balita kayaknya. Lama tak terdengar kabarnya saya baru sambung silaturahmi dengan beliau setelah saya bersekolah di Sidoarjo. Tali silaturahmi yang sempat tersendat karena jarak yang terbentang akhirnya terurai lagi ketika saya menuntut ilmu di Kota Petis. Ternyata beliau sekarang bermukim di Pacet Mojokerto. Dan telah mengelola sebuah Pondok Pesantren yang cukup besar disana bersama keluarga besarnya. Ternyata suaminya, KH Mahfud Syaubari (Ustadz) adalah pemangku Pondok Roudhotul Jannah dan telah beristri empat orang. Subhanallah. Kronologis poligami itu kudengar sendiri dari Ummi yang notabene adalah bulik saya sendiri.
Suatu saat pada sebuah acara sunatan anak pertama ibu kost saya di Sidoarjo (adik ibu kos saya ikut mondok juga di Pacet, dan kakak ipar ibu kos ku juga temen akrab Ustadz), Ummi beserta ketiga ibu yang lain datang di resepsi tersebut. Kemudian ditengah-tengah ibu-ibu yang hadir ditempat itu, beliau memperkenalkan saya dan ketiga ibu disitu.
“Yang ini adalah keponakan saya, dan yang pakai baju sama tiga orang itu, yang agak tinggi ibu nomor dua, yang agak kecil ibu nomer tiga, dan yang duduk disampingnya itu ibu nomor empat.” Seketika ruangan tersebut terjadi kehebohan sesaat. Saya lihat wajah ibu-ibu di ruangan tersebut…yang jelas semua terperangah…(hampir memble ngkali..) trus ada yang klesik-klesik dengan sebelahnya, ada yang senyum-senyum sambil memandangi mereka berempat, trus ada yang berani nyeletuk, Wah..kok bisa ya?” Kulihat keempat ibu itu hanya tersenyum penuh arti.
Kemudian suatu saat klarifikasi dari Ummi kudengar. Cerita tentang ibu kedua adalah…Ketika Ummi nawarin ke Ustadz (asli nawarin bo?!) ada santri senior yang selama ini ikut ngajar adik-adik santri, gimana kalo di kersakne (kalo pake bhs Ind kurang alus) Ustadz sendiri aja? Trus demi ditawarin yang ini Ustadznya diam aja, dan menurut Ummi diamnya seorang Ustadz adalah “Iya” Lhadalah….akhirnya menikahlah Ustadz dengan ibu kedua.
Komentar Ummi ketika ditangisi sama Ibunya, “Lho kan enak kalo kami habis ngaji dari luar kota (Ummi & Ustadz) saya bisa istirahat dengan baik sementara Ustadznya ada yang mijeti sendiri?!”Lhadalah…. enteng banget jawabnya.
Dengan ibu yang ketiga ceritanya hampir sama, Ustadz ditawari dan diam aja akhirnya dinikahkan oleh Ummi. Sementara dengan ibu yang keempat ceritanya agak sedikit beda, lebih seru.
Ada seorang santriwati senior yang saat itu diperistri oleh sahabat Ustadz yang orang Arab. Hanya karena kesibukan suaminya sebagai pengusaha ia tidak diboyong ke Arab, namun tetap dalam aktifitasnya mengajar adik-adik santri di Pondok. Namun seiring berjalannya waktu, orangtua sebut saja Ibu Endang tidak merestui hubungan suami istri yang berjauhan tersebut, sehingga disarankan untuk bercerai saja. Singkat cerita hubungan suami istri antara Ibu Endang dan sahabat Ustadz yang orang Arab kandas ditengah jalan. Dan demi melihat pemandangan tersebut setelah melewati masa iddah kembali peran Ummi diperhitungkan. Kembali Ummi menawari Ustadz dengan kalimat kurang lebih begini, “Ustadz, itu santri seniornya selama ini ikut ngajar adik-adik santri. Bagaimana kalau sekalian diperistri, kan masih kurang satu?” Daripada nanti diminta orang lain yang belum tentu baik kenapa nggak dikersakne sendiri saja?”. Dan lagi-lagi sang Ustadz hanya bisa diam aja dengan rencana istri pertamanya itu. Akhirnya akad nikah dilangsungkan di Pondok Pesantren itu juga, dengan menghadirkan orang tua dari Ibu Endang. Alhamdulillah, lega…sudah genap empat, berarti satu tugas saya selesai. Mungkin begitu kira-kira benak Ummi’.
Hebatnya lagi selain ketiga istri yang lain Ummi yang mencarikan untuk Ustadz, beliau-beliau ini hidup dalam satu atap, alias satu rumah tapi ya jelas dengan ruangan yang bedalah. Mereka hidup sangattt rukun. Sengaja saya tulis kalimat sangattt dengan triple T karena kehidupan mereka lebih dari rukun. Tak pernah terdengar pertengkaran berarti, malah yang ada adalah saling dukung. Karena aktifitas Ustadz yang luar biasa sehingga sering berganti-ganti ibu yang mendampingi beliau ke luar kota. Jika kebetulan harus mengajak ibu yang sedang menyusui anaknya, sementara tak mungkin membawa sang anak serta maka dengan otomatis ibu-ibu yang lain segera ikut menyusui anak yang harus ditinggal tadi.Subhanallah….Juga ketika mereka berangkat haji berlima, Kata Ustadz waktu itu, “Wah enak kalau bisa haji barengan gini, karena saya ngga perlu mengkhawatirkan atau harus nganter-nganter ibu-ibu, karena mereka udah kompakan sendiri kalau mau jalan ke masjid, makan, belanja n so on, malah saya yang sering ditinggal-tinggal.” Subhanallah…
Cerita tentang beliau-beliau ini tak akan pernah habis…belum cerita tentang anak-anaknya. Belum cerita tentang tempat tinggalnya, semua luar biasa menurut saya. Akan kuceritakan bersambung saja....takutnya terlalu panjang jadi nggak istimewa lagi.
Semoga apa yang saya lihat dan kuimplementasikan dalam sebuah tulisan tak mengurangi makna dan takzim saya kepada keluarga besar KH Mahfud Syaubari, beliau-beliau adalah contoh yang nyata yang semoga bisa memberi kontribusi bagi keimanan dan kecintaan kita padaNya. Dan semoga berkah dan rahmah Allah senantiasa menjaga hati dan jiwa beliau-beliau sehingga mereka layak untuk tempat kita bercermin.
Bi Barakatillah.
Ujung, 31.05.07
Yang dari kemaren ingin memberi penanda di akhir bulan Mei 2007 tempat nongkrong dengan piaraannya di siu-elha.blogspot.com