Puasa Pertama Mas Gangga - Sajadahku, Masjidku

13.9.07

Puasa Pertama Mas Gangga

Ramadhan kali ini menjadi momen pertama puasa Mas Gangga, anak pertamaku yang usianya 5 tahun. Sebenarnya tak ada target untuk dia, hanya kemaren dengan sedikit dialog saya berhasil menyemangati Mas Gangga untuk puasa. Tapi tetep saja ada kekhawatiran dia belum menetapi janjinya seperti tahun kemaren. Paginya bilang semangat mau puasa..eh malemnya pas dibangunkan untuk sahur dia ogah. Kecewa juga akhirnya, bahkan targetku untuk membuat Mas Gangga ikut bangun sahur aja nggak pernah keturutan. Sedih!

Maka untuk tahun ini aku benar-benar tak memasang target, takut kecewa seperti tahun kemaren, bahkan pembekalan Ramadhan di sekolah Mas Gangga dengan terpaksa tak kuhadiri, karena pas hari kerja. Dialog kemaren sebelum Mas Gangga sekolah juga singkat aja, dia juga bersedia bangun untuk ikut sahur dan puasa. Dan sepulang dari kantor kucoba untuk meneguhkan komitmennya untuk berpuasa, dengan semangat ia bilang "Iya Bunda aku mau ikut puasa!" semangatnya dia. Tapi tetep aja ada sedikit kekhawatiran, tapi dengan iringan do'a di hati kutepis kekhawatiran itu.

Waktu sahur tiba, dengan sedikit berharap, kucoba bangunkan Mas Gangga,

"Mas Ayo bangun katanya mau semangat ikut puasa?, Ayo cengklek yo?, rayuku sambil membuka selimutnya.

Dengan sangat ogah dia berusaha menarik selimutnya, "Ayo, Anak sholeh!" Ajakku lagi dengan sedikt "memaksa" Kali ini dia bangun dan mau kugendong di punggung tapi aku disuruh bawa gulingnya. He..he..he.., nggak papa deh demi sebuah tujuan, kucoba turuti apa keinginannya, selama dalam koridor baik. Jadi kugendong dia di belakang sambil tanganku membawa gulingnya.

"Mas Gangga mau makan apa?" Saya tahu oseng-oseng kacang panjang ditemani kecambah dan jagung muda menu sahur kami tak akan menarik perhatiannya. "Mau telor ceplok ya?" tawarku, dia mengangguk lemah karena masih mengantuk.

Perlu perjuangan dan negosiasi tingkat tinggi yang dibarengi kesabaran ekstra untuk membujuk Mas Gangga mau makan sahurnya. Sebelum makan dia minta dibuatkan teh manis, "Oke Sayang apapun yang kau minta selama Bunda masih bisa beri akan saya beri asalkan kamu mau belajar puasa ya Nak, Bi barakatillah?!" bisik hatiku.

"Bunda aku ngantuk!" rengeknya, Nah tuh kan! ujian baru dimulai Bunda, keep fight!!

"Iya Sayang Bunda ngerti, tapi kalau pengen dido'akan sama Malaikatnya Allah Mas Gangga harus makan sahur, juga biar besok bisa kuat puasanya, Sabar ya Sayang, nanti abis sahur boleh tidur lagi," rayuku.

"Tapi aku capek!, Gatel nih punggungku, bla..bla..bla.."mulai rentetan rengekannya, yang akhirnya hampir membuat saya menyerah!

"Ya sudah kalau Mas Gangga belum siap puasa, belum siap disayang Allah, belum siap jadi anak sholeh, boleh!, Bunda tidak melarang, ya udah Mas Gangga boleh kembali tidur!" tegasku, walaupun sejujurnya hatiku menangis. Bahkan ketika harus mengambil piringnya yang telah terisi nasi dan lauk serta menyambar mugnya yang berisi teh saya benar-benar menangis dalam perjalanan ke meja makan.

"Ya Allah harus bagaimana lagi, apa saya harus 'kalah' lagi?, Apa kataMu Ya Rabb!! Saya menyerah … Saya memang tak memasang target, tapi begitu saya merasa akan 'kalah' lagi, ternyata tetap terasa mengecewakan.

Akhirnya kuselesaikan sahurku, sambil kumainkan jurus "melengos" (baru kubaca kemarin di milis) dengan hati yang harap-harap cemas. Seorang anak akan lebih sengsara ketika ia merasa dicuekin sama orang tuanya daripada ketika memarahi dengan mengomel-ngomel. Sampai saya selesai sahur belum ada tanda-tanda dia "sengsara" . Akhirnya dengan hati kecewa berat "Yah kalau ini memang keputusanMu Rabb, saya akan coba ikhlas!" saya masuk ke kamar untuk meneruskan tadarus sambil menunggu Imsak.

Ketika beberapa ayat selesai kubaca, terdengar tangis di luar. Kuhentikan bacaanku.

"Aku mau makan,….aku mau makan….Bundaaaa!!" teriaknya ditengah tangisnya yang mulai keras.

Saya keluar dari kamar, memandangnya sejenak, menghilangkan emosi, "Mas Gangga yakin mau puasa?" tanyaku tak ingin berharap lebih. "Ya Bunda, "isaknya. Kupeluk tubuh mungil itu, kulantunkan shalawat di ubun-ubunnya, Semoga Allah membarakahimu Nak, do'aku dalam hati.

Kuambil piring yang tadi kuletakkan dimeja, dan dilahapnya menu sahurnya, dengan hati lapang.

"Semangat ya Nak, nanti Bunda punya sesuatu buat anak sholeh yang rajin puasanya," dia layak mendapatkan rewardnya. Setelah kesadarannya muncul baru reward kuberikan, agar ia merasa dihargai. Reward tidak akan kuberikan sebagai bahan rayuan, seperti "Ayo puasa nak, nanti Bunda beri hadiah" Kami dengan sangat menghindari reward semacam itu. Esensinya sangatlah beda, ketika ia mau melakukan suatu kegiatan dengan kesadaran penuh lalu diberi reward atau ia mau melakukan kegiatan karena ada reward.

Pagi itu dia memulai puasanya, dan ketika kutinggal mandi dia sedang main dengan adik di dalam mobil. Ketika saya sedang berganti pakaian di kamar kudengar Omnya (adik suamiku) "Lho katanya puasa, makan apa itu dimulut?" tanyanya. "Permen," jawabnya polos. Oalah …dia mungkin lupa. Segera kudekati, "Bener Mas Makan permen?" Ia hanya mengangguk "Adik sih…makan permen jadi aku ikutan!" Ini juga keteledoran kami yang lupa menyimpan persediaan permen di mobil begitu puasa tiba. Dalam hatiku aku ketawa keras, tapi berusaha tak kutampakkan takut ia malu.

"Oke, karena Mas Gangga lupa, puasanya boleh diteruskan tapi lain kali gak boleh ya?"sambil memeluknya. Oalahhh ada-ada saja Mas ini!!


 

1 Ramadhan 1428 H/13 Sept 2007

Mohon do'anya agar ia mampu menikmati puasanya.

No comments: