Membuang Mimpi Menjemput Hidayah - Sajadahku, Masjidku

7.8.07

Membuang Mimpi Menjemput Hidayah

Sejak saya menginjakkan bangku SD sekitar kelas IV keatas, setiap tanggal tujuhbelas Agustus ada sebuah ritual yang hanya aku sendiri yang selalu menjalankannya. Tak seorangpun tahu hingga cerita ini kutulis. Ritual yang membuatku mempunyai sebuah mimpi yang sangat kuat. Biasanya setiap tanggal tujuh belas Agustus di sekolah dan instansi-instansi mengadakan Upacara Bendera sekaligus mengenang detik-detik Proklamasi. Sekolah biasanya mengadakan upacara di pagi hari seperti upacara hari Senin. Upacara dimulai jam tujuh dan selesai sekitar jam setengah sembilan, kemudian bubar.

Nah ritual itu kumulai sepulang dari mengikuti upacara tujuhbelasan di sekolah. Aku akan berada di depan televisi menunggu acara Peringatan Detik-detik Proklamasi di Istana Negara. Satu momen yang kutunggu adalah ketika Pasukan Pengibar Bendera mulai mengambil tempat untuk menaikkan bendera Sang Saka. Ada perasaan yang mengharu biru, antara semangat, bangga dan haru serta perasaan aku ingin seperti mereka! Mereka berbaris dan kelihatan sangat gagah. Betapa bangganya bisa menjadi salah seorang diantara mereka yang sedang berbaris itu. Dihadapan orang-orang terpenting di negeri ini, didepan jutaan pemirsa yang pasti melihat acara itu karena seluruh stasiun televisi wajib merelay acara tersebut. (Sekarang masih begitu juga gak ya?). Apalagi seorang dari Pasukan Inti delapan akan berhadapan langsung dengan Presiden untuk menerima lipatan Bendera Merah Putih bersejarah itu. Siapa yang tak bangga?. Saat itu pasti ada sesuatu yang berdentum-dentum di dada saya. Mungkin saya nggak berkedip memandang layar kaca televisi. Dan dentuman-dentuman yang rutin menghampiriku setiap tanggal tujuh belas Agustus di pagi hari saat penaikan Bendra dan sore hari saat penurunan bendera membuatku terobsesi. Terobsesi oleh sebuah keinginan yang lama kelamaan mengendap menjadi sebuah mimpi yang sangat kuat "menghantui". Yah…aku sangatttt ingin menjadi bagian dari Pasukan Pengibar Bendera.

Sedikit banyak saya menyadari bahwa sisi kemaskulinan dalam diri saya sedikit menonjol. Artinya dengan kegiatan yang berbau maskulin saya lebih tertarik. Jika kegiatan disekolah saya lebih tertarik ikut Baris Berbaris atau Pramuka daripada ikut Paduan Suara, itu contoh kecilnya. Atau guru saya waktu SMP memilih saya menjadi Danton daripada menjadi dirijen, atau tugas yang lain saat upacara. Intinya sebelum berjilbab saya adalah sosok yang sangat maskulin alias tomboy. Tapi bukan lesbi lo!

Akhirnya kesempatan itu hadir ketika saya duduk di bangku kelas satu di STM Negeri Perkapalan Sidoarjo. Dari beberapa kandidat petugas Pengibar Bendera saat Upacara di sekolah, sayalah yang terpilih karena postur dan baris-berbaris saya lebih layak dari yang lain. Namun sayang mimpi yang telah lama menghantui saya itu datang pada saat yang tidak tepat. Kesempatan itu hadir ketika saya mulai aktif di kegiatan rohis Sekolah dan di Masjid An Nur. Kesempatan itu datang saat hidayah itu menjemput. Persis disaat saya berazzam untuk segera berbenah dengan pakaian yang lebih menutup aurat. Perang batin masih berkecamuk ketika saya harus mengikuti tes seleksi Paskibraka di tingkat Kecamatan. Harapan yang sangat tinggi oleh semua pihak di sekolah dan Bina Siswa dari PT PAL Indonesia dipikulkan dipundak saya. Kebetulan sekolahku memang menganut dual system, artinya dalam pengelolaan porses belajar mengajar dikelola bersama dengan pihak industri dalam hal ini dengan PT PAL Indonesia. Untuk belajar teori di laksanakan di Kampus STM Negeri Perkapaln Sidoarjo, semnetara untuk prakteknya dilaksanakan di Pusdiklat PT PAL Indonesia.

Seingatku hanya saya siswa perempuan yang dikirim mewakili sedangkan untuk siswa laki-laki ada beberapa, saya tidak ingat persisnya. Harapan itu memang wajar disandangkan di pundak para wakil yang mengikuti seleksi tersebut, karena selama ini kami juga dididik semi militer. Dalam hal baris-berbaris jangan ditanya, hampir tiap hari kami diajarkan. Apalagi kami yang petugas Pengibar Bendera. Akhirnya tibalah hari seleksi itu, dan kalau aku boleh menghitung peta lawan (halah) memang kontestan dari sekolah lain bukan saingan kami dalam hal baris berbaris, namun pada saat sesi wawancara entah mengapa hidayah itu kembali membayangi prose wawancara saya. Saya tahu nggak akan mungkin seorang petugas bendera memakai jilbab (pada saat itu). Dan pada saat yang bersamaan kami juga sedang fight untuk bisa berjilbab disekolah baik teori maupun praktek. Dan satu hal lagi, kami (saya dan teman-teman jilbaber) sudah menjahit seragam sekolah yang panjang saat saya sedang menjalani tes seleksi. Sungguh pilihan yang maha berat.

Bayangkan mimpi yang telah bertahun-tahun menghinggapi itu telah di depan mata, dengan sedikit usaha mimpi itu akan tergenggam! Perang batin yang hebat menyerang saya di kantor Kecamatan siang itu. Namun sungguh Allah tahu benar saat dimana seorang hamba membutuhkaNya. Entah dari mana kekuatan itu hadir, tiba-tiba rasa yang sangat kuat melingkupi saya, rasa bahwa apa yang sedang saya hadapi adalah sebuah ujian tentang kecintaan saya padaNya. Apakah saya akan memperjuangkan mimpi ataukah saya akan memenagkan hidayah. Dan bisa ditebak, saya akhirnya mengalah, saya letakkan ego, saya letakkan mimpi itu dengan sebuah senyum dan kesadaran baru, bahwa kenikmatan akan kebanggaan untuk menjadi seorang Paskibraka bukanlah satu-satunya cara. Akhirnya pada saat sesi wawancara saya sudah terlihat ogah-ogahan, sampai tim Juri memaksa saya untuk melakukan satu saja tes kesenian, bisa menari, menyanyi, atau membaca puisi. Saya bilang "Saya tidak bisa BU?" Entah saya sudah tak punya alasan lagi untuk menghentikan tes seleksi ini. Dan itulah satu-satunya cara yang melintas dibenakku saat itu. "Ayo dong, satu aja, nminimal nyanyi aja, baris berbaris kamu bagus!"Pinta juri saat itu. Saya hanya bisa menggeleng lemah. "Yah sayang padahal PBB kamu bagus, tapi memang salah satu syarat untuk bisa maju ke tingkat Kabupaten harus bisa menguasai salah satu kesenian, Masak sih gak bisa?." Tawarnya untuk yang ketiga kalinya. Dan sekali lagi saya hanya bisa menggeleng, kali ini dengan lebih mantap. Keluar dari ruangan itu ada sebuah kelegaan yang melapangkan dada saya. Yah selamat tinggal mimpi, selamat datang hidayah…


 

Tulisan diatas tak bermaksud untuk mendiskreditkan Paskibraka, saya hanya bermaksud menceritakan pengalaman pribadi tentang bagaimana saya menjemput hidayah, itu intinya.

07 Agustus 2007

Yang mencoba memaknai kemerdekaan sebagai totalitas kita padaNya…..

No comments: