Berdampingan dengan Sakaratul Maut.
Pengalaman pertamaku berdekat-dekat dengan maut adalah ketika almarhumah ibuku saat itu sedang sakit keras. Telah tiga bulan beliau sakit di Rumah Sakit akibat tekanan gula darahnya yang tidak stabil serta ada luka di kakinya. Penyakit diabetes ini mulai menyerang ibuku sejak usiaku satu tahun. Namun Alhamdulillah dengan diet yang ketat dan obat-obatan baik medis maupun alternatif yang rajin diminumnya membuat ibuku mampu bertahan selama kurang lebih 25 tahun dengan penyakit Diabetes Mellitus. Saat yang terberat dalam hidupku adalah menjelang wafatnya ibuku, karena saat itu kebetulan saya harus bertugas di Jakarta. Berarti saya semakin berjauhan dari ibuku yang tinggal di Tulungagung. Hari-hari yang sangat berat, rasanya saya seperti tak berpijak ditanah. Hari-hari saya serasa mengawang, tak tahu apa yang sedang kuhadapi. Saya menjalani hidup hanya mengikut kemana kaki melangkah. Sebuah rutinitas yang sangat berat. Sebenarnya bisa saja saya meminta ijin mengundurkan diri dari proyek di Jakarta untuk menunggui ibu di RS, namun saya sadar dengan mengikut proyek di Jakarta ini berarti income saya agak berlebih dari gaji saya sehingga bisa untuk membantu biaya pengobatan ibu. Rasa pedih, sedih, dan getir di hati saya waktu itu tak dapat kuukur dengan apapun juga. Seolah aku menjalani hidup yang mati, tanpa harapan, tanpa semangat, tanpa kemauan. Sakit ibu kala itu memang pukulan terberat bagi kami. Karena begitu berartinya sosok ibu bagi kami. Allah Memang Maha Pemurah, karena pada saat-saat kritisnya saya diijinkan untuk sejenak pulang mendampingi ibu di RS. Setiap hari tanpa henti kami bergantian menjagai ibu. Sampai pada suatu titik dimana perawatan RS kami nilai sudah tak memadai lagi, melihat kondisi ibu semakin memburuk, kami mengajak beliau untuk pulang. Kami berharap akan mengusahakan dari pengobatan alternatif. Pagi itu saya pulang dari RS, dan ternyata hari itu pagi terakhir saya di RS karena setelah itu ibu pulang paksa atas persetujuan kami sekeluarga. Sore sekitar qabla Ashar ibu tiba di rumah, kondisinya semakin payah. Kami memasang infus dengan bantuan tetangga yang menjadi perawat. Malam harinya kami bergantian menjaganya, tapi entah mata ini rasanya sulit sekali terpejam. Ketika sejenak mampu terlelap, tengah malam saya dibangunkan oleh kakak ipar saya istri kakakku yang nomor satu. Dia merasa mengantuk, dan meminta saya untuk menggantikannya. Saya tak menyadari bahwa itulah saat-saat terakhir ibuku…Tanpa henti aku membaca ayat-ayat AlQuran membisikkan lembut di telinga ibuku…ahh..jika ingat saat itu air di mata ini menjadi meleleh. Sekitar jam 3 dini hari semua bangun untuk memiringkan tubuh ibuku yang sepertinya kelelahan. Andai saya tahu bahwa bunyi nafasnya yang berat saat itu adalah nazakh yang semakin dekat. Andai saya tahu Ya Rabb… Semua tak merasa bahwa ibu akan pergi untuk selamanya, bahkan tiba-tiba seperti tersihir semua sudah berada diperaduaannya kembali untuk tidur. Aku yang sejak tadi menuntun ibu dengan ayat-ayatNya tanpa kantuk sedikitpun, tiba-tiba juga merasa mengantuk, bahkan Abah saat itu memintaku untuk tidur disamping ibu, karena aku terkantuk dipinggir ranjang, takut aku terjatuh. Saat itu semua memang dalam puncak kelelahannya. Lelah lahir maupun batinnya. Seolah ibu tak ingin merepotkan semuanya , beliau pergi begitu tenang. Bahkan tak ada satupun dari kami yang mendengar Adzan Subuh, karena aku terbangun saat ada sesuatu menyentakkan tubuhku. Seperti disentakkan oleh sengatan listrik, dan mampu membuatku terbangun. Refleks kulihat jam dinding menunjukkan jam 05.05, dan secara refleks pula jariku menyentuh lubang hidung ibuku, tak ada nafas yang keluar…Aku terpana!! Sejenak blank…menuju dunia yang seakan sunyi tanpa batas…aku seperti terhempas dalam jurang yang sangat dalam dan sangat lengang… seakan tak percaya bahwa ibuku sudah pergi. Innalillahi wainna ilaihi roji'un. Aku tak segera membangunkan mereka yang sedang terlelap dalam tidurnya, yang mampu kuucap pada saat itu hanyalah, "Abah sudah siang, semua belum sholat!" kataku. Dan seolah patuh dengan kalimatku semua terbangun tergopoh-gopoh, juga seakan baru bangun dari perjalanan panjang. Semua seperti tersentak…Disaat semua sudah terbangun, barulah aku mampu berucap "Abah, ibu sudah tak bernafas lagi !!" Semua terkaget, sejenak terjadi kegaduhan. Kakak-kakaku melompat, seolah tak percaya. Yah titik takdir itu telah berlaku atas ibuku. Semoga air mata yang tertumpah saat itu menjadi bukti cinta kami padanya, bukan air mata kesedihan. Semoga kekuatan cintanya pada kami akan senantiasa menjadi azimah cinta di dalam dada kami semua. Semoga Allah meridhoi hidup dan akhirnya. Bi Barakatillah. Kejadian itu berlangsung pada tanggal 10 Nopember 2000. Itulah pengalamanku pertamaku mendampingi seseorang dalam titik taqdir kematian. Barangkali sentakan seperti sengatan listrik itu adalah saat paling akhir malaikat Izrail menuntaskan tugasnya, karena dari cerita beberapa teman yang pernah mengalami berdampingan dengan maut memang seperti ada sesuatu yang disentakkan ketika ajal memanggil. Jika pada kesempatan pertamaku berdekat dengan maut tidak secara langsung kulihat dengan mata ku sendiri hanya rasa disekelilingnya, karena kebetulan saya tidur berdampingan dengan ibuku dalam satu ranjang, maka pada kesempatan kedua ini saya benar-benar melihat sendiri bagaimana perjalanan sakaratul maut. Kejadian ini bermula dari Pakdhe suamiku yang pulang dari menunaikan ibadah haji. Karena kondisinya saat masih di Makkah sudah payah (namun Alhamdulillah Pakdhe dan Budhe telah menyelesaikan hajinya) sehingga beliau berdua dipulangkan mendahului jadwalnya. Dan ketika datang juga tak bisa langsung pulang ke Probolinggo karena harus dirawat di RS Haji. Hari Kamis datang dan kondisinya masih baik, bahkan bertambah baik. Hari Sabtu malah sudah bisa guyonan dengan anak-anaknya yang datang dari Probolinggo. Siapa sangka bahwa hari itu adalah hari terakhir kami bercengkerama, hari terakhir kami bersua. Karena malam harinya kondisinya terus drop, bahkan pagi harinya sudah koma, bernapaspun harus dengan bantuan oksigen. Sekitar jam 08.30 pagi itu saya sempatkan ke Rumah Sakit setelah mengantar anakku yang nomor dua ke Lab, karena badannya panas sudah 2 hari. Sesampai di rumah Sakit kulihat kondisi Pakdhe stabil dalam komanya, napasnya teratur. Disitu sudah ada Budhe istri pakdhe, anak-anaknya, ibu mertuaku yg adik dari Pakdhe, ada suamiku. Bergantian kami membaca ayat-ayat Al-Quran. Sekitar jam 09.30 ada dokter jaga yang memeriksa, sepertinya ada yang gawat, karena dia memanggil perwakilan keluarga, intinya pihak RS meminta persetujuan untuk memindah Pakdhe ke ruang ICU krn kondisinya semakin kritis. Ibu mertuaku sejak tadi sudah membisiki saya dan suami bahwa kayaknya Pakdhe memang sedang berproses untuk kembali kepada Sang Khalik. Ibu mertua ini (beliau sudah almarhumah juga tak lama setelah Pakdhe meninggal) sering kali melihat fenomena orang yang sedang sakaratul maut, sehingga sedikit banyak hapal karakteristik orang-orang yang akan berpulang. Melihat kondisi Pakdhe seperti itu ibu mertuaku meminta seluruh anak-anaknya meminta maaf dan memaafkan Pakdhe, istrinya juga diminta untuk mengikhlaskannya. Saat keluarga Pakdhe sibuk berkonsultasi dengan pihak paramedis, saat itulah saya seperti tersadarkan bahwa waktu Pakdhe semakin dekat. Kuteruskan membaca surat Yasin, dan surat-surat pendek di juz 30, ibu terus memintaku untuk meneruskan membaca Al Qur'an. Beliau sendiri menuntun 2 kalimat syahadat di telinga Pakdhe. Kulihat nafas Pakdhe semakin berat…jika pada saat koma dan harus dengan bantuan oksigen tadi mulut Pakdhe senantiasa menganga, maka pada saat itu Pakdhe seolah tersedak dan bibirnya mengatup. Nafasnya mulai melemah…lemah….kemudian datang paramedis yang membantu membuat sentakan dengan menggunakan alat pacu jantung, beberapa perawat bergantian, menekankan alat itu kedada Pakdhe…dan kuteruskan melantunkan membaca surat Yasin di dekat telinganya dan kuusahakan suaraku selembut mungkin, namun semoga jelas didengarnya, sampai pada ayat "Salaamun khoulam mirrobbirrahiim" seperti ada sentakan kuat sampai saya sedikit terkaget, seperti sengatan lisrtrik yang kurasakan saat meninggalnya ibu dulu. Dan pada waktu yang bersamaan petugas paramedis menyatakan jantung Pakdhe telah berhenti berdetak…Innalillahi wainna ilaihi roji'un… Sungguh tenang kepergiannya, di saat semua urusannya selesai minimal seluruh anak dan istrinya telah saling memaafkan. Prosesnya begitu cepat dan tenang serasa tak ada hambatan, semoga itu menjadi bukti kemuliaannya di sisiNya. Beliau pergi disaat bacaan ayat yang sangat indah… " (Kepada mereka dikatakan) Salam, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang" Sungguh indah Allah menyambut kepulangannya. Di saat yang lain suamiku bercerita bahwa pada saat aku membaca ayat itu suaraku menjerit, dengan suara meninggi seperti orang berteriak. Dia sendiri kaget dia pikir ada sesuatu yang terjadi padaku. Dan kuceritakan saat-saat itu padanya. Pengalaman batin yang menakjubkan. Sangat luar biasa bagiku. Pengalaman ketiga aku berdekatan dengan maut, saat sahabatku dikantor menghadapi hari-hari akhirnya, walaupun aku tak mendampingi saat terakhirnya namun aku lega telah menunaikan perintah yang tiba-tiba melesak-lesak didada saya, sehari sebelum hari meninggalnya. Entah kenapa saat itu saya ingin sekali mengaji disampingnya, aku utarakan keinginanku dengan teman2 dikantor dan siang itu kami berangkat sama-sama ke sana. Rasanya melihat kondisinya saat itu rasanya waktu kami tak lama lagi untuk tetap bersua. Matanya mulai menguning tanda kanker itu telah menjalar ke levernya, dan tatapan mata itu…seolah aku memandang lorong kesenyapan. Siang itu dia masih tersadar, namun itulah siang terakhir kami berjumpa, kusempatkan mengaji di bibir ranjangnya. Aku hanya mampu berdo'a "Ya Allah berilah yang terbaik bagi hambamu ini" diakhir bacaan Surat Yasinku. Sore harinya dia koma, dan sesaat sebelum Adzan Isya hape saya berdering mengabarkan dia telah berpulang…Inna lillahi wainna ilahi roji'un. Segera saya meluncur ke RS Graha Amerta tempat jenazahnya sementara disemayamkan, saya masih sempat memandikannya, mengkafaninya, dan mengantar jenazahnya pulang ke rumahnya untuk disholati dan dimakamkan. Diatas semua pengalamanku itu hanya satu pinta semoga Allahpun memberikan akhir yang baik bagiku, keluargaku dan seluruh keturunanku. Amin Allahumma amin. Pacarkembang, 22.08.07
No comments:
Post a Comment