14.9.07

Berkaca Pada Mbak Farid

Kami mempunyai seorang pembantu yang sudah tak kami anggap pembantu lagi, sudah seperti saudara sendiri. Namanya Mbak Farid. Dia sudah ikut kami sekitar dua tahund an sebenarnya sekitar 3 bulan yang lalu dia sudah minta ijin pulang terus karena dipanggil pulang oleh Ibunya di Jember , dengan berat hati kami mengijinkan, tapi dengan syarat kami udah dapat gantinya dia sehingga bisa belajar pekerjaan rumah dari nya. Alhamdulillah dia mau.

Dan ketika sebulan yang lalu ketika kami kebingungan mencari mbak baru kami minta tolong untuk balik bantu-bantu kami, dia mau kembali . Karena si mbak yang baru ternyata nggak kerasan sampai kami kebingungan lagi mencari mbak baru. Susah banget cari mbak baru, sampai akhirnya ada seseorang atas rekomendasi pamanku di Trenggalek yang mau. Saya sempat ketemu sama si mbak sebut saja Lina ini, dia mau dan kelihatan sekilas tipe-tipe Mbak yang rajin dan telaten sama anak-anak kecil. Esok harinya Minggu sore ketika saya mau balik ke Surabaya kami harus menjemput Mbak Lina dulu, ternyata bapaknya nangis-nangis bilang anaknya nggak diijinkan untuk berangkat, aduh..gimana nih…padahal saya sudah cuti satu minggu kemaren dan besok harus ngantor lagi. Akhirnya ditengah keputusasaan, kami mencoba menelpon Mbak Farid, Alhamdulillah melalui negosiasi dan ijin ke kakakknya akhirnya dia mau dateng lagi besok, Alhamdulillah..minimal satu masalah terpecahkan sehingga sedikit bisa mengulur waktu mencari Mbak yang baru lagi, karena dia memberi batas waktu selepas Ramadhan ini dia mau balik terus lagi.

Kemaren waktu di a gajian, biasanya uang gajian dititipkan pada kami, dan jika sewaktu-waktu ia membutuhkannya ia akan minta seperlunya. Walaupun kebiasaan gajinya dititipkan pada kami, namun tiap bulan kami selalu menanyainya, barangkali dia butuh. Seperti kemaren ketika kami menyakannya apakah gajinya diambil atau dititipkan? Ia jawab, mau diambil sebagian, separo lebih sedikit, dan selebihnya dititipkan pada kami tapi dengan sedikit takut-takut dia bilang bahwa sisa gajinya dititipkan untuk diberikan pada anak yatim. "Sisa Semuanya?" tanya kami. "Iya," jawabnya. YA separoh kurang sedikit gajinya diperuntukkan anak yatim. Subhanallah….. Saya dan suami sampai terdiam agak lama dengan pikiran masing-masing. Rasanya saya malu banget, di hari kedua Ramadhan dia sudah memikirkan untuk menyantuni anak yatim, dengan hampir separo gajinya. Disaat saya masih ribut dengan persiapan Ramadhan, persiapan Hari Raya yang jujur rasanya nggak prinsip banget. Malu sekali Ya Allah….Dia yang notabene berpenghasilan lebih kecil dari kami sudah sebegitu pedulinya terhadap anak yatim. Duh rasanya nikmat dan kemuliaan Ramadhan ini layak untuk Kau persembahkan kepada orang-orang yang seperti ini Rabb…Rasanya saya tak ada apa-apanya….Boro-boro mikirin nyantuni anak yatim di hari kedua Ramadhan, apalagi dengan separoh gaji, Astagfirullah ….

Alhamdulillah hari itu telah Kau ingatkan kami atas kelalaian kami Rabb, dengan cara yang sangat indah…Hanya Engkau Rabb yang mampu membalas cinta yang luar biasa itu…Hanya Engkau yang mampu dan layak untuk membalasnya. Bi Barakatillah….

2 Ramadhan 1428 H/ 14 Sept 2007

Yang semoga tergugah ditengah menikmati pelajaran indah.....

baca selanjutnya...

13.9.07

Puasa Pertama Mas Gangga

Ramadhan kali ini menjadi momen pertama puasa Mas Gangga, anak pertamaku yang usianya 5 tahun. Sebenarnya tak ada target untuk dia, hanya kemaren dengan sedikit dialog saya berhasil menyemangati Mas Gangga untuk puasa. Tapi tetep saja ada kekhawatiran dia belum menetapi janjinya seperti tahun kemaren. Paginya bilang semangat mau puasa..eh malemnya pas dibangunkan untuk sahur dia ogah. Kecewa juga akhirnya, bahkan targetku untuk membuat Mas Gangga ikut bangun sahur aja nggak pernah keturutan. Sedih!

Maka untuk tahun ini aku benar-benar tak memasang target, takut kecewa seperti tahun kemaren, bahkan pembekalan Ramadhan di sekolah Mas Gangga dengan terpaksa tak kuhadiri, karena pas hari kerja. Dialog kemaren sebelum Mas Gangga sekolah juga singkat aja, dia juga bersedia bangun untuk ikut sahur dan puasa. Dan sepulang dari kantor kucoba untuk meneguhkan komitmennya untuk berpuasa, dengan semangat ia bilang "Iya Bunda aku mau ikut puasa!" semangatnya dia. Tapi tetep aja ada sedikit kekhawatiran, tapi dengan iringan do'a di hati kutepis kekhawatiran itu.

Waktu sahur tiba, dengan sedikit berharap, kucoba bangunkan Mas Gangga,

"Mas Ayo bangun katanya mau semangat ikut puasa?, Ayo cengklek yo?, rayuku sambil membuka selimutnya.

Dengan sangat ogah dia berusaha menarik selimutnya, "Ayo, Anak sholeh!" Ajakku lagi dengan sedikt "memaksa" Kali ini dia bangun dan mau kugendong di punggung tapi aku disuruh bawa gulingnya. He..he..he.., nggak papa deh demi sebuah tujuan, kucoba turuti apa keinginannya, selama dalam koridor baik. Jadi kugendong dia di belakang sambil tanganku membawa gulingnya.

"Mas Gangga mau makan apa?" Saya tahu oseng-oseng kacang panjang ditemani kecambah dan jagung muda menu sahur kami tak akan menarik perhatiannya. "Mau telor ceplok ya?" tawarku, dia mengangguk lemah karena masih mengantuk.

Perlu perjuangan dan negosiasi tingkat tinggi yang dibarengi kesabaran ekstra untuk membujuk Mas Gangga mau makan sahurnya. Sebelum makan dia minta dibuatkan teh manis, "Oke Sayang apapun yang kau minta selama Bunda masih bisa beri akan saya beri asalkan kamu mau belajar puasa ya Nak, Bi barakatillah?!" bisik hatiku.

"Bunda aku ngantuk!" rengeknya, Nah tuh kan! ujian baru dimulai Bunda, keep fight!!

"Iya Sayang Bunda ngerti, tapi kalau pengen dido'akan sama Malaikatnya Allah Mas Gangga harus makan sahur, juga biar besok bisa kuat puasanya, Sabar ya Sayang, nanti abis sahur boleh tidur lagi," rayuku.

"Tapi aku capek!, Gatel nih punggungku, bla..bla..bla.."mulai rentetan rengekannya, yang akhirnya hampir membuat saya menyerah!

"Ya sudah kalau Mas Gangga belum siap puasa, belum siap disayang Allah, belum siap jadi anak sholeh, boleh!, Bunda tidak melarang, ya udah Mas Gangga boleh kembali tidur!" tegasku, walaupun sejujurnya hatiku menangis. Bahkan ketika harus mengambil piringnya yang telah terisi nasi dan lauk serta menyambar mugnya yang berisi teh saya benar-benar menangis dalam perjalanan ke meja makan.

"Ya Allah harus bagaimana lagi, apa saya harus 'kalah' lagi?, Apa kataMu Ya Rabb!! Saya menyerah … Saya memang tak memasang target, tapi begitu saya merasa akan 'kalah' lagi, ternyata tetap terasa mengecewakan.

Akhirnya kuselesaikan sahurku, sambil kumainkan jurus "melengos" (baru kubaca kemarin di milis) dengan hati yang harap-harap cemas. Seorang anak akan lebih sengsara ketika ia merasa dicuekin sama orang tuanya daripada ketika memarahi dengan mengomel-ngomel. Sampai saya selesai sahur belum ada tanda-tanda dia "sengsara" . Akhirnya dengan hati kecewa berat "Yah kalau ini memang keputusanMu Rabb, saya akan coba ikhlas!" saya masuk ke kamar untuk meneruskan tadarus sambil menunggu Imsak.

Ketika beberapa ayat selesai kubaca, terdengar tangis di luar. Kuhentikan bacaanku.

"Aku mau makan,….aku mau makan….Bundaaaa!!" teriaknya ditengah tangisnya yang mulai keras.

Saya keluar dari kamar, memandangnya sejenak, menghilangkan emosi, "Mas Gangga yakin mau puasa?" tanyaku tak ingin berharap lebih. "Ya Bunda, "isaknya. Kupeluk tubuh mungil itu, kulantunkan shalawat di ubun-ubunnya, Semoga Allah membarakahimu Nak, do'aku dalam hati.

Kuambil piring yang tadi kuletakkan dimeja, dan dilahapnya menu sahurnya, dengan hati lapang.

"Semangat ya Nak, nanti Bunda punya sesuatu buat anak sholeh yang rajin puasanya," dia layak mendapatkan rewardnya. Setelah kesadarannya muncul baru reward kuberikan, agar ia merasa dihargai. Reward tidak akan kuberikan sebagai bahan rayuan, seperti "Ayo puasa nak, nanti Bunda beri hadiah" Kami dengan sangat menghindari reward semacam itu. Esensinya sangatlah beda, ketika ia mau melakukan suatu kegiatan dengan kesadaran penuh lalu diberi reward atau ia mau melakukan kegiatan karena ada reward.

Pagi itu dia memulai puasanya, dan ketika kutinggal mandi dia sedang main dengan adik di dalam mobil. Ketika saya sedang berganti pakaian di kamar kudengar Omnya (adik suamiku) "Lho katanya puasa, makan apa itu dimulut?" tanyanya. "Permen," jawabnya polos. Oalah …dia mungkin lupa. Segera kudekati, "Bener Mas Makan permen?" Ia hanya mengangguk "Adik sih…makan permen jadi aku ikutan!" Ini juga keteledoran kami yang lupa menyimpan persediaan permen di mobil begitu puasa tiba. Dalam hatiku aku ketawa keras, tapi berusaha tak kutampakkan takut ia malu.

"Oke, karena Mas Gangga lupa, puasanya boleh diteruskan tapi lain kali gak boleh ya?"sambil memeluknya. Oalahhh ada-ada saja Mas ini!!


 

1 Ramadhan 1428 H/13 Sept 2007

Mohon do'anya agar ia mampu menikmati puasanya.

baca selanjutnya...

11.9.07

Cerpen (Belum Ada Judul) Menyambut Ramadhan 1427H

Rindu itu begitu menusuk-nusuk kalbuku karena hampir setahun nggak pulang, ketika di bis menuju perjalanan pulang ada sesuatu yang aneh menjalari hatiku. Menjalar pelan seiring laju bis, semakin mendekat kota tujuanku semakin kuat perasaan aneh itu mengalir. Entah, pulang selalu membawa sejuta warna bagi hatiku. Senyum ibu, wajah ayah, tergambar jelas di depanku. Yah beliau hanya tinggal berdua di rumah. Rasanya kangen sekali, mungkin rasa kangen itu yang menimbulkan rasa aneh di hatiku. Aneh tapi rasanya nyaman. Karena kesibukan kuliah dan kerja membuatku menunda kepulanganku. Menunggu momen pas dan longgarnya waktuku. Dan sekarang disaat Ramadhan datang, sengaja aku mengambil cuti seminggu dan kebetulan kuliahku selesai ujian. Kesempatan emas tak kusia-siakan. Rasanya lama sekali tak melahap pepes ikan mas bikinan ibu, ditambah sayur asem, dan tempe goreng plus sambel terasi. Uih…nggak terasa aku menelan air liurku. Rasanya kangen ini telah membuncah…!

Tak terasa bus sudah dekat dengan terminal Tulungagung. Aku harus turun untuk berganti bus, karena bus eksekutif yang kutumpangi hanya berakhir di terminal ini. Sementara untuk menuju kampung halamanku di Kamulan, Trenggalek aku harus berganti bus. Untungnya rumahku dipinggir jalan jadi begitu turun dari bus langsung depan rumah. Ah..rasa penat selama perjalanan dari Jakarta mulai kemaren sore rasanya akan segera tergantikan lunasnya rasa rindu ini.

Kemaren aku sudah menelepon ibu, pasti mereka sudah menunggu kehadiranku. Akhirnya, aku bangkit dari tempat dudukku untuk turun. Rumahku sudah di depan mata

"Warung pojok depan, berhenti pak!" abaku pada sopir. Sekilas kulihat ibu sedang duduk diteras. Dengan setengah meloncat aku turun sambil menggendong ranselku dan tas plastik besar berisi oleh-oleh buat ibu.

"Aduh, Le, akhirnya kamu sampai juga!," setengah menjerit ibu menyambut kedatanganku. Kupeluk tubuh yang mulai renta termakan usia, namun masih terlihat sehat. Kulepaskan beban rindu yang menggelayuti jiwaku selama ini. "Ah ibu engkau memang muara cintaku.", desahku. Kulihat ada air bening mengaliri pipi yang mulai keriput itu.

"Ayo masuk udah ditunggu sarapan bapakmu itu lho!" kata ibu sambil mengusap air matanya.

"Wah, Cah Nggantheng sudah datang, Ayo Le, sini makan sekalian, sudah laper dari tadi nungguin kamu." Kata Bapak. Kuraih tangan Bapak yang mulai keriput digilas masa dan kucium penuh takzim. Sosok sederhana namun kuat yang akan terus menjadi panutan hidupku.

Setelah meletakkan barang bawaanku, dan mengangsurkan tas oleh-oleh ke ibu segera kususul Bapak ke meja makan.

"Gimana kuliahmu, kapan selesai?,"tanya bapak sambil menyendok nasi dari bakul.

"Alhamdulillah, mulai semester depan sudah menyusun skripsi, do'akan lancar, Pak!, "jawabku.

"Rencana cuti berapa hari?"tanya ibu sambil membuka bungkusan pepes kegemaranku.

"Insyaallah seminggu, Bu sekalian ingin mengawali Ramadhan disini, kangen sama suasana darusan disini."jawabku mulai memasukkan sendok demi sendok ke mulut. Hmm…tak ada yang menandingi masakan ibu di dunia ini. Nikmat tiada tara. Selesai makan kami ngobrol diruang tengah, meneruskan obrolan di ruang makan.

"Bu, nanti malam mulai tarawih ya?," tanyaku, "siapa imam musholla sekarang?"

"Iya, untuk hari pertama nanti ya Bapakmu, setelah itu baru bergantian dengan orang-orang." Kata ibu. Dibelakang rumah memang ada musholla kecil, wakaf dari almarhumah Mbah Yut, ibu dari almarhumah Mbah Ti. Mbah Ti adalah ibu dari ibuku. Musholla kecil itu dibangun semasa hidup Mbah Yut, dan sampai sekarang terawat dengan baik, walaupun tidak ada orang khusus yang merawatnya. Jadi dengan kesadaran orang-orang di sekitar yang ikut merawat keberadaan Musholla itu. Kalau hari biasa setiap sore digunakan Ustadz Hanafi mengajari anak-anak kecil untuk belajar Iqra', dan setiap minggunya ada saja kegiatan pengajian ibu-ibu atau bapak-bapak di Musholla ini, selain untuk sholat berjama'ah. Jadi wajar sekali jika masyarakat sekitar ikut menjaga kelangsungan musholla karena keberadaannya dirasakan manfaatnya oleh warga sekitar.

Dulu semasa kecilku aku yang sering menabuh bedug tanda adzan akan berkumandang. Atau bahkan sekalian aku yang mengumandangkan Adzan. Dulu yang mengajari kami ngaji adalah Mbah Imam almarhum. Selesai mengaji kami diajari pencak silat, atau bercerita tentang Nabi-nabi. Dan jika Ramadhan tiba, kami menyalakan obor dan berjalan keliling desa untuk menyambut bulan yang diagungkan itu. Sambil memukul-mukul kenthongan dari bambu. Dan selesai tarawih kami sering memainkan bedug atau jidoran. Kami sering tertidur di musholla, kemudian tengah malam dibangunkan bapak atau Mbah Imam untuk sholat tahajjud. Kemudian pulang kerumah masing-masing untuk makan sahur. Sambil menunggu Subuh kami berkumpul lagi di Musholla untuk sholat berjamaah. Ah…Ramadhan di desa selalu menyisakan asa yang akan kukenang sepanjang hidupku. Sekarang sudah jarang anak-anak yang melakukan aktifitas seperti yang pernah kulakukan dulu. Televisi telah menggantikan ritual yang pernah kulakukan dulu dalam menyambut bulan Ramadhan. Kalaupun ada sudah bukan kenthongan lagi yang mengiringi mereka untuk membangunkan orang sahur, tapi ironisnya malah menggunakan lagu-lagu dangdut, atau rock. Lucu dan nggak nyambung menurutku. Ruh dalam menyambut Ramadhan dulu sangat terasa, apalagi bagi anak-anak seusia kami. Ingatnnya kurasakan hingga kini, kenikmatannya masih terasa sampai duapuluh tahun kemudian. Sehingga setiap menghadapi Ramadhan ada rasa syahdu yang selalu mengiringinya.

Seusai maghrib kulihat banyak anak-anak kecil berkumpul di Musholla, ada beberapa yang kukenal, sepertinya murid-murid TPA Ustadz Hanafi.

"Anak-anak pada ngumpul, ngapain Bu?"tanyaku.

"Ya mau pawai obor, seperti jaman kecilmu dulu." Jawab ibu.

"Oh ya?, Jadi mereka masih melakukan kegiatan itu Bu?," tanyaku sedikit heran.

"Iya, karena Ustadz Hanafi ingin menghidupkan lagi ruh menyambut Ramadhan itu, minimal bisa membuat anak-anak bersemangat untuk berpuasa, bisa meningkatkan ghirah mereka, yah ibu pikir bagus juga buat anak-anak, Bapakmu juga mendukung." Jawab ibu.

Malam itu seusai sholat tarawih pertama di bulan Ramadhan, saya menyempatkan ikut tadarus di musholla, ramai juga bapak-bapak yang ikut. Tadi juga sempat berbincang dengan Ustadz Hanafi, katanya akan dibentuk remus, Remaja Musholla, karena banyak anak-anak ABG di sekitar tempat kami. Ustadz Hanafi adalah pendatang walaupun hampir tujuh tahun menetap di desaku. IA asli Pekalongan tapi mendapat tugas mengajar di desa ini. Akhirnya menikah dengan salah satu putri Mbah Imam. Usianya sekitar 35 tahun, dan dikaruniai seorang putra. Jadilah ia menetap di desa kami. Dari hasil bincang-bincang kami ia juga mengharap agar aku mau pulang ke desa, membangun desa ini. Saya tersenyum, "Saya juga ingin Mas," jawabku. Aku memang terbiasa memanggil dia Mas, karena hubungan kami memang dekat sejak dulu. Apalagi saya adalah santri kesayangan Mbah Imam.

"Cuma kayaknya dalam waktu dekat belum ada rencana, entahlah kalau besok-besok", jawabku. "Namun jangan khawatir, saya pasti akan bantu untuk perkembangan musholla ini", jawabku mantap. "Setiap ada perkembangan baru yang bisa menambah keilmuan untuk anak-anak di sini saya siap bantu, jadi silahkan Mas Hanafi disini dengan anak-anak, nanti saya dukung dari jauh, misalnya buku-buku, kitab-kitab, atau yang lainnya, bahkan nanti kalau memang Remusnya jadi kita saranai dengan komputer pula Mas, saya ada PC di Jakarta yang jarang saya pakai karena sudah ada laptop, "uraiku bersemangat.

"Wah, jadi semangat nih Dik", jawabnya tak kalah antusias.

Walaupun tak seberapa semoga bisa jadi amalan yang bisa dicatat malaikat di pundak kanan saya, minimal bisa berbuat sesuatu bagi tanah tempat darah kelahiranku tertumpah.

Malam itu saya sulit sekali tidur, karena sesiang tadi bisa tidur nyenyak. Maklum akumulasi capek perjalanan dengan bus dari Jakarta. Di musholla juga sudah sepi. Jam setengah sebelas tadi orang-orang menghentikan tadarusnya. Kulihat jam di dinding musholla menunjukkan pukul satu dini hari. Kuambil air wudlu disamping musholla, kulaksanakan rakaat pertama sholat tahajjudku. Dengan tartil kubaca bacaan sholat, rasanya nikmat sekali, jauh dari kebisingan, jauh dari hiruk pikuk metropolitan, jauh dari kesibukan kuliah dan kerja. Hmm…kunikmati sekali shalatku malam itu. Sampai salam disholatku yang ketiga baru tersadar ada orang lain di musholla ini. Orang yang sudah tua, terlihat rambutnya yang hampir semua memutih. Memakai baju takwa warna hitam dan sarung batik. Agak jauh dari tempatku sholat.

Kulanjutkan sholatku sampai rakaat ketiga witir. Ketika aku telah selesai berdzikir, kulihat kakek itu masih khusyuk sholat. Aku melangkah keluar meregang penat. Dengan kaki masih di anak tangga kurebahkan tubuhku sekedar meluruskan punggung. Kulihat jam menunjukkan jam dua kurang tiga menit. Karena masih bengong kukeluarkan rokok putih, kunyalakan, rasanya enak saja malem-malem gini menyedot rokok, buat teman biar nggak ngantuk sambil nunggu sahur. Sebenarnya aku bukan perokok sejati, sangat jarang, bahkan dalam sebulan tak lebih dari tiga batang. Tapi kalo pas gini mau juga merokok.

"Assalaamualaikum, "tiba-tiba dari arah belakangku terdengar sapaan dengan suara agak berat.

"Wa'alaaikum salam warah matullahi wabarakaatuh,"kutoleh arah suara sapaan tadi ternyata memang kakek yang kulihat tadi. Wajahnya bersih, bahkan kulihat sinar lain yang menyejukkan terpancar dari wajahnya.

"Maaf, kakek tinggal dimana ya? Baru kali ini saya melihat kakek?, " tanyaku hati-hati sambil kumatikan rokok, saya tidak terbiasa merokok di depan orang. Kasihan aja aku yang merokok mereka yang terkena getahnya.

"Rumah kakek nggak jauh dari sini dibelakang tegalan itu, memang sejak dulu jarang di rumah," jawabnya.

"Nggak bisa tidur?"tanyanya, "Suka merokok ya?" sambungnya.

"Iya Kek, tadi siang kecapekan kebanyakan tidur, jadinya kancilen," jawabku, "kalau masalah rokok ini, ndak juga kok Kek, jarang sekali kecuali menemani kalau saya lagi gak bisa tidur begini, lagian bisa membuat saya betah bangun malam buat shalat tahajjud" lanjutku.

"He..he…kalau masih butuh alat untuk mencintaiNya rasanya itu bukan cinta sesungguhnya ya Le?" katanya datar saja. "Dulu ada seorang putra Kyai yang hanya bisa majdub ketika dia mendengarkan musik yang keras….Dia beralasan, musik ini yang menghantarkan saya padaNya , jwabnya ketika suatu saat ditanya sama Abahnya. Sang Abah yang telah banyak makan asam garam kehidupan itu dengan arif berkata pada anaknya, "Memang tak ada salahnya menggunakan sarana untuk mencapai cintaNya, seperti bayi yang perlu merangkak untuk dapat berjalan, tapi ketika dia sudah mampu berjalan apakah masih akan terus merangkak? Juga ketika seorang salik telah mencapai taraf cintaNya bila dia masih perlu alat atau sarana untuk mencapaiNya maka cinta itu perlu dipertanyakan karena semestinya Ia ada dimanapun dan kapanpun tanpa harus melalui sarana. Dan sejak saat itu kesadaran baru muncul pada anak sang Kyai itu, sehingga ia tinggalkan musik yang ingar bingar itu. Tanpa itu Ia memang selalu ada." Urai Sang Kakek panjang lebar.

Datar sekali bicaranya, namun sungguh menohok ulu hati saya. Saya pikir selama ini gaya merokok saya biasa saja, dan kadang-kadang membantu saya untuk betah melek di malam hari.Tapi hari ini ada seorang Kakek menyentuh sisi kesadaran saya yang lain. Semakin tenggelam saya bicara dengan Kakek ini.

Aku hanya manggut-manggut, dan membenarkan pendapatnya.

"Nggak terasa Ramadhan sudah datang lagi ya?, bulan yang sangat dirindukan oleh semua umat. Seandainya mereka tahu kemuliaan bulan ini mereka tak akan terjaga sedetik pun", katanya sambil matanya menerawang ke depan.

"Menurut kakek apa kemuliaan yang istimewa dari bulan ini kek?" tanyaku.

"Bagi yang mata hatinya terbuka, bagi yang terbuka hijabnya dengan sang penguasa Jagad Raya, setiap desahan nafasnya adalah rezeki tak terkira di bulan ini. Semua pintu rahmatNya dibuka, semua pintu hidayahNya terbuka, semua pintu ampunanNya terbuka, tinggal manusianya, apakah mereka mampu menerima kemuliaan yang luar biasa ini?" urainya, "Tapi kadang puasa ini hanya sebagai penahan lapar dan dahaga saja, tak lebih, hanya sebagai penggugur kewajiban atas bulan ini, sehingga derajat yang kita capai pun tak akan pernah naik dari itu."desahnya.

Akupun ikut terdiam, sehingga hening sejenak waktu. Malam semakin merambat pagi, suara jengkerik menimbulkan simphony tersendiri dimalam pertama bulan Ramadhan ini. Desau angin malam semakin menambah dingin suasana.

"Puasa tapi masih korupsi, puasa tapi masih mengumbar amarah, puasa tapi masih menyakiti hati orang lain, puasa tapi masih lahap saja ketika berbuka di depan anak-anak peminta-minta. Pertanyaannya kenapa masih seperti itu saja? Padahal puasa kita telah berpuluh-puluh tahun. Kenapa tak ada jejak kenikmatan kita dalam berpuasa. Bahkan tak berbekas. Selesai puasa kita kembali pada rutinitas kemaksiatan kita?

Astaghfirullah…."desahnya, kudengar suaranya sedikit serak.


 

"Puasa kita masih sekedar puasa fisik, belum menyentuh hati kita, belum menyentuh hakikatnya, apalagi menyentuh cinta kita" lirih suaranya.

Aku semakin tertunduk…seolah terkena daya magis yang sangat kuat. Menyeretku ke sebuah lorong sunyi dan gelap…Kepekatan malam ini seolah ikut memberi nuansa magis dalam dialog-dialog yang terucap dari mulut kakek ini.

"Kita masih sanggup menelantarkan anak-anak yatim walaupun puasa kita telah berbilang tahun, kita masih sanggup melahap nikmatnya buka puasa walaupun didepan kita terlihat orang-orang yang hidup dijalanan dan menadahkan tangan seolah itu hal yang wajar-wajar saja. Dengan sedikit receh serasa habis perkara. Bahkan mungkin berhari-hari mereka tak menemukan makanan sekadar untuk mengganjal perutnya, rasanya mereka lebih mampu menghayati arti puasa dibanding kita yang hanya menahan lapar dari pagi sampai petang, dan begitu bedug Adzan bertalu segera dapat melahap kenyang buka puasa kita. Bisa jadi mereka telah berpuasa sepanjang masa, karena kemiskinannya.

"Ah kok jadi saya yang banyak ngomong!" kata kakek itu.

"Nggak pa pa Kek, itu malah lebih baik buat saya, buat bekal saya lebih menghayati puasa" kataku sambil sedikit tersentak ke kesadaran semula setelah merasa melayang.

Entah kenapa berdekat-dekat dengan kakek ini seperti ada sesuatu rasa yang sulit kugambarkan.


 

Tiba-tiba pintu belakang rumahku terbuka, ternyata Bapak sudah bangun dan mau sholat malam. Memang pintu samping dapurku berhubungan langsung dengan teras samping Musholla ini.

"Nak, saya pamit dulu, Insyaallah besok ketemu lagi, Assalaamualaikum…" tiba-tiba Kakek itu beranjak dari duduknya dan segera berlalu.

"Waalaaikum salam warahmatullah wabarakaatuh, " jawabku.

"Le, siap-siap sahur, itu Ibumu sudah siapkan," kalimat Bapak sedikit mengagetkan saya. Konsentrasiku sedikit buyar sehingga tak kulihat Kakek tadi keluar.

"Iya Pak saya sudah selesai sholat kok, sebentar lagi saya masuk."jawabku. Segera aku bangkit dan masuk rumah untuk ikut membantu ibu menyiapkan sahur.


 

Malam kedua Ramadhan seperti kemaren seusai tadarusan saya hanya mampu memejam mata sejenak, Kulihat jam dinding di kamar 00.30 WIB. Kubuka pintu dapur untuk mengambil air wudlu di samping musholla. Hhhhmhhh…dingin menusuk sampai ke tulang rasanya, namun terasa segar, sehingga mata yang agak sepet bisa melek dengan sempurna. Kumulai takbirku dengan sepenuh rasa dan kepasrahan total. Sampai pada bacaan Inna sholati wa nusuki wamahyaya wamamati lillahi rabbil 'alaamin kurilekskan seluruh tubuhku, dan kucoba kuhayati kata-demi kata bacaan sholatku, sungguh indah…sungguh nikmat…ringan sekali rasanya tubuh ini. Kuselesaikan sholatku sampai salam di rakaat ketiga Sholat Witirku. Kuteruskan dengan dzikir dengan tartil..perlahan dan penuh penghayatan. Kulibatkan rasa di segenap jiwaku. Kunikmati…setiap desahan nafasku yang kuberati dengan kalimah-kalimah dzikir. Sunyi yang terasa nikmat…disepertiga malam yang merangkak pagi. Kurasakan tubuhku semakin ringan…ringan…bahkan serasa melayang…kubuka pelan mataku karena aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan tubuhku. Subhanallah…tubuhku benar-benar melayang..!LAlu siapa yang sedang tertunduk di pojok musholla itu? Itu seperti bajuku, itu…itu tubuhku…Subhanallah..Apa yang sebenarnya sedang terjadi pada jasadku? Kesadaranku terjaga penuh, tapi kenapa dengan diriku?!?...Seribu tanya bergelayut di benakku. Untuk beberapa saat saya terbuai oleh sebuah kenikmatan yang tak tergambarkan. Ekstase itu kurasakan hingga sebuah suara sedikit berat namun penuh perbawa memberi salam, sehingga diriku yang melayang perlahan turun menyatu lagi dengan jasadku yang masih terduduk di pojok musholla.

" Assalaamualaikum ya Akhi?, suara itu kukenal betul, yah suara kakek yang tadi malam.

"Waalaaikum salam warahmatullahi wabarakatuh!" Kujawab salamnya dengan masih terengah setelah pengalaman ruhani yang luar biasa kualami barusan.

" Apa yang tengah kau alami, Anakku sehingga wajahmu pucat dan berkeringat di tengah malam yang dingin menusuk seperti ini?" tanyanya. Seolah ia tahu sedang terjadi sesuatu dalam diriku. Tiba-tiba aku hanya mampu tertunduk dan tergugu dalam tangis.

" BAgi seorang salik yang mendamba cintaNya memang tak perlu sarana untuk meraihnya, baginya cukuplah Allah saja. Kalaupun dengan munajah dan dzikirnya Allah berikan karunia-karunia dalam keghaiban, itu bukanlah tujuan utamanya. IA tak terusik sedikitpun oleh 'gangguan-gangguan' berupa kenikmatan sesaat. Karena yang ditujunya hanya Allah semata. Ridho Allah adalah rezeki tak terkira. Karena yang meneranginya mata batinnya hanyalah cahayaNya." Seperti telah tahu apa yang sedang terjadi padaku Kakek itu berbicara seperti itu.

"Maka jika dalam pencarianmu engkau bertemu dengan hal-hal ghaib…anggaplah itu karunianya seperti kata ulama besar Ibn Athaillah As Sakandary dalam Kitab Al Hikamnya yang masyhur itu,

"Jika Allah membukakan pintu makrifat bagimu, janganlah hiraukan mengapa itu terjadi sementara amalmu amat sedikit. Allah membukakannya bagimu hanyalah karena Dia ingin memperkenalkan diri kepadamu. Tidakkah engkau mengerti bahwa makrifat itu adalah anugerahNya kepadamu, sedangkan amal adalah pemberianmu? Maka betapa besar perbedaan antara persembahanmu kepada Allah dan karuniaNya kepadamu!"

Dan teruslah berdzikir menghadapkan segenap jiwamu padaNya." KAkek itu meneruskan kalimatnya.

Dia menguraikan itu dengan memeluk tubuhku yang semakin tergugu dalam tangis, bahkan tubuhku terguncang.

"Istighfar Anakku, lepaskanlah perlahan-lahan…atur nafasmu…rilekskan tubuhmu, tenangkan dirimu dan jangan berhenti dzikir di hatimu."perintahnya terdengar pelan ditelingaku namun tegas.

"Sudah waktu sahur, segera sahur Nak, jangan lewatkan barakah malaikat pada orang-orang yang menyempurnakan puasanya dengan sahur" katanya. Aku mengangguk dan segera bangkit untuk membasuh wajahku dengan air wudlu. Segar sekali…Ketika aku kembali untuk mengajak Kakek itu untuk bersahur di rumahku ia sudah tak ada di tempatnya. Aku dibuat penasaran dengan Kakek satu ini, bahkan aku belum tahu namanya. Semoga besok beliau hadir lagi disini sehingga aku bisa tanyakan siapa dia.


 

Malam ketiga Ramadhan, seperti telah terprogram aku terbangun pukul 00.30 WIB walaupun tak ada weker yang membangunkanku. Aku hanya mengharap Ia akan menyentuhku di sepertiga malam, karena aku meyakini bukan aku yang bisa bangun tapi karena Ia yang maha berkehendak membangunkanku.

Seperti biasa kumulai tahajjudku malam itu dengan takbir yang kubangun bersama kekhusyu'an. Kuhadirkan segenap jiwa untuk menerjemahkan bacaan tartil sholatku. Kunikmati…dengan segenap khusyu' dalam keheningan.Kupasrahkan segala rasa ini kehadhiratMu, semoga Engkau ridho. Antara sadar dan tidak aku mendengar suara orang banyak berdzikir. Sehingga terdengar suara mendengung. Kupikir karena pantulan keheningan malam yang membias di telingaku sehingga terdengar seperti jamaah dzikir. Kuteruskan sholatku tanpa meninggalkan kekhusyu'an dalam penghayatan. Justru suara dengungan itu semakin jelas. Tak kuhiraukan…kuselesaikan rakaat ketiga witirku. Kulanjutkan dengan dzikir, suara dengungan itu semakin jelas bahkan mengiringi dzikirku. Aku sedikit bergidik, kucoba menutup telingaku dengan kedua tanganku, justru suara itu lebih jernih…Lailahaillallah… Lailahaillallah…. Lailahaillallah… Lailahaillallah terus semakin jelas bahkan serasa didepanku. Aku teringat pesan Kakek kemaren, "Teruslah berdzikir jangan hentikan dzikirmu….Ditengah suara dengungan yang sudah tak lagi sekedar dengung namun jelas-jelas sebuah jamaah dzikir, tiba-tiba aku merasa dalam sebuah lorong tak gelap namun juga tak begitu terang, entah tak sanggup aku menggambarkan keadaanku saat itu…dengan suara dzikir yang semakin membahana di telingaku bagaikan kudengar dari sebuah konser live sebuah pertunjukkan. Indah…tak terkira…kurasakan tubuh yang semakin ringan dan melesat dalam lorong yang menakjubkan tadi. Suasana indah …syahdu…nikmat yang tak mampu kugambarkan….Subhanallah….Rasanya aku tak ingin kembali. Tiba-tiba ada sebuah suara yang kudengar dari hatiku, "Janganlah berhenti sampai disini, karena ketika Rasulullah selesai berIsra'Mi'raj beliau kembali pada umatnya untuk menyampaikan kabar gembira itu, untuk meyampaikan risalah agung itu." Aku kenal suara yang kudengar itu, suara Kakek tua itu! "Dan sesungguhnya keinginanmu untuk tidak kembali adalah bagian dari nafsu!, Tugasmu belum selesai Nak, segeralah kembali!" Tiba-tiba kulihat jamaah yang tadi berdzikir adalah anak-anak yang sebagian besar kutahu mereka anak-anak TPA asuhan Ustadz Hanafi. Mereka memandangku dengan tatapan penuh harap dan cinta. Tiba-tiba ingin kupeluk semua, ingin kurengkuh semua…rasa iba berbaur dengan sayang dan cinta seolah membuncah membuat satu energi tersendiri buatku saat itu. Yah memang tugasku belum selesai. Seketika aku kembali pada kesadaranku sepenuhnya. Kembali kedunia nyata. Kudapati diriku sangat letih dan menggigil dengan peluh yang membasahi tubuhku. Kuedarkan pandangan untuk mencari Kakek yang tadi seolah sedang berbicara denganku.Kosong…tak ada orang…!Kulihat jam dinding 01.40 WIB. Agak lama aku termenung sambil mengatur nafasku, aku mulai rebahan, sambil memandang langit-langit musholla, sambil mencerna kejadian yang barusan kulewati. Kutunggu Kakek itu untuk beberapa saat, sampai Bapak memanggilku dari dalam rumah. Akhirnya kuputuskan masuk rumah karena dingin semakin menyergap tubuhku yang telah basah oleh keringat dingin.

"Bu, kira-kira ibu kenal nggak dengan Kakek yang dua malam ini sholat tahajjud di musholla belakang?"tanyaku.

"Kakek siapa?"tanya Bapak dan Ibu hampir barengan.

"Masak Bapak nggak pernah lihat? Kemaren saat Bapak sholat di musholla beliau ada, Pak?" terangku.

"Rambutnya sudah hampir memutih semua, kira-kira seusia Mbah Imam sebelum meninggal, hanya badannya agak tinggi dan kurus. Tapi wajahnya masih kelihatan segar, dua hari ini bahkan kami mengobrol di musholla?"lanjutku.

Kulihat kedua orangtuaku berpandangan sejenak sambil mengernyitkan kening, "Justru itu yang ingin kami tanyakan pada kamu, beberapa hari ini kamu seperti bercakap-cakap dengan orang tapi ketika bapak lihat nggak ada siapa-siapa."

"Hmmmhhh…siapa sebenarnya ya?" kata Bapak dengan heran.

"Katanya rumahnya ada di belakang tegal Bu?" aku masih sedikit ngotot.

" Kamu lupa to Le, kalau dibelakang tegal kita Cuma sungai ada dua rumah yang satu rumah mak Isah, yang satunya rumah Kang Roni yang biasa kita mintai tolong ngambil buah kelapa itu." Terang Ibu.

"Kalau mereka aku kenal Bu!", jawabku.

Siapa Kakek itu? Kenapa dia datang saat saya sedang mengalami ekstase itu. Ia seolah diutus untuk mengiringi perjalanan saya. Khidirkah ia? Entahlah yang jelas saya akan selalu merindukan bimbinganmu, Kakek.


 

Pacar Kembang, Akhir Sya'ban 1427H

Marhaban Yaa Ramadhan…

Yang hanya ingin bisa merasa di bulan Ramadhan ini

Bi barakatillah


 

Mohon maaf segala khilaf, Mohon maaf lahir batin

semoga kita masuki gerbang Ramadhan dengan segenap kebeningan jiwa.

baca selanjutnya...

7.9.07

Karena Kutak MenghadirkanNya (refleksi 5 thn Mas Gangga)

Saya terhenyak ketika membaca laporan Buku Penghubung Sekolah Mas Gangga. Ustadzahnya menulis kurang lebih begini "Ibu, dalam seminggu ini Mas Gangga emosinya sangat tidak stabil, kalau waktu berdo'a jadi tidak khusyu' maunya main di luar kelas lari-lari atau main pasir. Mohon kerjasamanya untuk menyemangati Mas Gangga." Hmmhh..mungkin tulisan itu "kurang kutanggapi" karena memang tipe anakku yang kinestetik. Sampai "teguran" kedua itu sampai juga, kali ini dari Ustadzahnya di TPA MAsjid At Taqwa tempat selama ini dia mengaji. Di Buku Penghubungnya juga ada tulisan yang kurang lebih begini " Ibu akhir-akhir ini Mas Gangga agak nakal tidak mengaji hanya bermain lari-lari dengan temannya, kami sudah menasehati tapi masih belum kelihatan hasilnya, mohon di rumah juga dinasehati"

Memang bahasa Ustadzah di sekolah lebih santun tapi yang kulihat esensinya sama, ya tho! Duh…dua instansi mengatakan hal yang sama persis. Saya jadi mikir "Ada apa dibelakang hari kemaren sehingga sekarang muncul teguran itu?, Hmmhhh…?"

Saya tahu ketika seminggu ini justru mereka intensif bersama saya karena semua pembantu pulang. Tak ada orang di rumah. Namun saya sadari sepenuhnya bahwa intensitas kami sebatas fisik tak menyentuh ruhani. Apa sebab? Karena saya dalam keadaan stress tinggi. Saya harus tetep ngantor sementara dua anak saya harus ikut ke kantor. Jadi pagi saya harus siapkan keperluan mas Gangga baik untuk sekolah maupun bekal baju beserta tetek bengeknya untuk di kantor saya. Sepulang sekolah nanti ia dijemput Suamiku untuk diantar ke kantorku. Sampai jam kantor usai. Sementara saya juga harus siapkan keperluan Si Kecil Adik Gautama yang harus saya titipkan di Taman Penitipan Anak (TPA) yang ada di kantor. Kalau Mas GAngga sudah gak mau disana karena memang usia dua tahun ke bawah yang ada disana, sementara kalau di kantor dia bisa ngulik komputer. Belum bersih-bersih rumah, belum nyuci baju anak-anak. Jadi bagi tugas ama suami dia yang ngemong anak-anak, sementara saya harus berjibaku di belakang.

Mobilitas yang tinggi itulah yang memaksa saya untuk kurang beramah tamah dengan anak-anak saya. Tak ada cerita menjelang tidur, tak ada canda-canda yang mengasyikkan, karena jujur rasanya ada aja kerjaan yang belum beres-beres di belakang. Sehingga ketika kami bersua berempat yang tinggal adalah kelelahan bundanya yang tak mampu mengimbangi ceria anak-anak. Saya jadi agak spaneng (kayaknya sudah nggak pake 'agak' lagi). Sedikit-sedikit marah, mereka gak tidur marah, mereka berantem marah, ada yang nangis marah, adik ngompol marah, nggak mau makan marah, kok aku gak ada baiknya ya?....hiks…hiks…

Duh aslinya capek… marah-marah terus…bikin tambah runyam…senyum jadi mahal, yang ada hanya wajah yang tertekuk-tekuk membentuk lipatan yang tak sedap dipandang. Dan sebenarnya di pojok hatiku yang paling dalam ada sebentuk sesal namun tak mampu ku follow up dengan tindakan yang lebih baik. Jadinya Nyesel tapi marah lagi..nyesel lagi…marah lagi…cape' deehhh…

Lebih parahnya lagi logikaku yang lebih menonjol, semua kerjaan inginnya kuselesaikan semua dan segera. Nggak perlulah melibatkan do'a, ini mah kerjaan fisik yang memang harus kuselesaikan dalam wilayah fisik. Nggak perlulah membuat Dia capek dengan urusan beginian. Jadi saya benar-banar mupeng bin ngotot dengan aktivitasku. Alhasil walaupun kerjaan rumah selesai tepat waktunya, tidak dengan aktivitas anak-anakku. Mereka berangkat tidur dengan do'a yang terbaca hanya dimulut, tak sampai ke hati, sekedar ritual penggugur kesunnahan, tak ada bacaan shalawat di ubun-ubun mereka, pun bangun tidur dengan yel-yel "cepat nak!, bentar lagi Pak Bagong jemput kamu!. Atau Ketika dia makan dan berdo'a sambil nonton teve, bahkan yang dibaca seperti setelan kaset . Tanpa bobot rasa yang mengiringinya. Tanpa bunda yang biasa khusyu mengamininya. Tanpa ada jamaah sholat Maghrib karena semua sibuk dengan kerjaannya masing-masing. Televisi menjadi obat mujarab untuk 'menenangkan' mereka sembari saya selesaikan semua pekerjaan rumah dari mengepel, setrika, cuci baju, cuci piring siram tanaman, n so on.

Dan ternyata begitu mahal harga yang harus saya bayar atas semua itu. Ya… terlalu mahal !!!

Atas keremehenku, karena kutak menghadirkanNya. Karena saya merasa bisa tanpa Dia. Karena saya yang merasa bisa, tapi tak bisa merasa. Ketika dalam segalanya tak kulibatkan rasa. Ternyata hasilnya sangat beda. Kepicikan pemikiran, egois, sok,dan ternyata pada suatu titik saya merasa capek sendiri, merasa bodoh sendiri, merasa tak kuasa lagi…

Ya Rabb…

Pacar kembang 07.09.08

Sehari menjelang 5 tahun Mas Gangga , Mohon do'a barokahnya semoga hidupnya senantiasa dalam kemanfaatan, manfaat bagi agamanya, bangsanya, dan kami orangtuanya. Semoga semua itu menjadi kaca benggala bagi Bunda, agar tak lagi menapak jalan yang salah. Bi barakatillah…

baca selanjutnya...