27.8.07

Ingin Mencharge Spirit, Berkebunlah…!

Lihat kebunku

Penuh dengan bunga

Ada yang merah

Dan ada yang putih

Setiap hari kusiram semua

Mawar melati semuanya indah


 

Ingin Mencharge Spirit, Berkebunlah…!

Teori ini sejujurnya keluar dari pendapat pribadi. Tapi telah melalui studi empiris selama ….satu kali! HAyyah…! La wong baru sekali melakukan uji empiris kok berani-beraninya mengeluarkan fatwa…! Tapi apa yang saya katakana diatas sebagai judul ada benarnya. Semoga ini bukan penemuan seperti Lagu Indonesia 3 Stanza itu. Barangkali teori yang kukeluarkan itu sebenarnya teori kuno tapi baru menurutku. Ceritnya begini….

Beberapa hari terakhir aku sering diajak ke rumah temen yang istrinya jualan bunga. Banyak jenis ada Anthurium, Ephorbia, Jenmani, Gelombang Cinta, dan masih banyak lagi. Asli baru itu aku melihat langsung jenis bunga-bunga yang sedang menjadi buah bibir. Lagi Booming…!! Dan dengan harga gila-gilaan menurut saya yang sangat tidak hobi merawat bunga (dulu). Sejujurnya saya ikut melihat bunga ke rumah temen karena terpaksa…Suer!, tapi entah kenapa akhirnya memaksa saya untuk ikut melihat, tertarik, dan setiap ada tukang jualan bunga seperti di Kayoon atau di Kalijudan saya jadi lirik-lirik…eh…ternyata asyik juga ngamatin tanaman…Sejujurnya kalau jadi pengamat saya seneng dari dulu…tapi jangan tanya kalau merawatnya…ampun Mak!!!

Di rumah pun sebenarnya ada banyak jenis tanaman yang bagus-bagus. Dulu Ibu mertuaku yang rajin merawatnya. Aku paling cuma rajin berkomentar..(hih tak tahu diuntung ya?!) Ada Sri Rejeki yang sudah berdaun sangat lebar, juga ada beberapa varian lain seperti Beras Kutah dll., Goyang India, Sansifera Farigata, Bougenville, Anggrek Bulan (sayang habis tak berbekas, tinggal satu itupun hidup segan mati tak mau), Melati yang menutupi sekeliling pagar rumah dan jika berbunga lewat depan rumah berbau semerbak melati, dulu juga ada berbagai varian mawar namun nasibnya juga mengenaskan, ada jeruk yang setiap saat berbuah (lumayan bisa buat nyambel), Lidah buaya berduri, sehingga bentuknya bagus, berbagai varian suplir, masih banyak lagi yang aku nggak ngeh dengan jenis maupun namanya. Dulu bunga-bunga itu segar dan sedap dipandang mata. Tapi kondisi itu selalu tak bertahan lama, setiap Ibu Mertua (Almh) pulang ke Probolinggo, tanaman itu jadi kurus lagi, ya gimana enggak memang nggak ada yang ngopeni. Kalau inget itu rasanya saya jahat banget ! Nyesel …Asli…Suer… Inget nasib tanaman-tanaman itu akhirnya banyak yang mati. Seandainya dulu saya enggak cuek-cuek banget, nyiram aja nggak pernah Bro! Apalagi sekarang Ibu telah berpulang, sehingga tak akan ada lagi yang peduli sama tanaman-tanaman di rumah itu. Kasihan ya?

Sampai akhirnya pencerahan itu dateng!!!

Ya dari nganter temen beli bunga di tempat istri temanku akhirnya "hidayah" itu datang (eh ini termasuk hidayah juga kan?). Saya jadi mulai tertarik untuk sekedar melirik. Walaupun tetap cuek…minimal sudah mau melirik, bahkan berdiskusi dengan hati, "Kayaknya asyik juga ya mengurus tanaman!" Dan Puncaknya ketika hari Jum'at dalam hatiku mulai berkompromi dan berniat untuk membenahi tanaman-tanaman di rumah. Entah kenapa keinginan itu begitu kuat, sampai-sampai saya tak sempat memikirkan hal lain selain keperluan apa saja untuk usaha pembenahan itu. Hari Sabtu udah kucanangkan sebagai hari bersih-bersih tanaman. Apalagi kulihat bayak tanaman-tanaman tetangga yang terawat bagus, saya jadi ngiri…Trus ada satu hal lagi yang membuatku jadi berubah 180 derajat! Sekitar dua tiga tahun yang lalu saya pernah iseng-iseng nanya ke tetangga yang hobi menanam bunga, karena kulihat jenis yang baru itu sangat cantik menurutku…Dia bilang beli di Pasar Bratang 60 ribu. HAlah tanaman gitu aja mahal banget sungutku..walaupun aku mengakui memang cantik. Dan tahukah saudara-saudara sekalian harga tanaman yang baru kutahu bernama Gelombang Cinta itu?Mungkin yang sebesar milik tetangga saya sekarang itu sekitar 3 jutaan. Hah?! Speechless deh! Pernah juga saya di puji karena tebakan saya atas tanya seorang temen penjual bunga ternyata betul. Jadi ceritanya dia punya beberapa tanaman-tanaman mahal (pada saat itu) sejenis Pride Sumatra…yang Cuma berwajah daun-daun lebar dan bawahnya berwarna merah menantang….ternyata dari beberapa jenis yang dia tunjukan yang saya sukai ternyata harganya paling mahal. "Pinter kamu milih, " kata temen tadi. Hihh…jadi geer deh!! TApi dari kejadian itu akhirnya saya menyadari sebuah potensi dalam diri saya (halah narsis nih!) ternyata nggak banget-banget culunnya saya dalam menilai keindahan sebuah tanaman.Sehingga dari situ muncul kepedean saya terhadap tanaman, intinya ternyata saya punya selera juga (mulai narsis buncis lagi nih!).

Hari Sabtu yang telah kugadang-gadang tadi gagal total, karena dapet undangan dari Sekolah Mas Gangga. Sorenya juga ada acara yang telah direncanain ama suami. Jadilah Ahad pagi saya benar-benar mupeng untuk beli pupuk n beberapa tanaman penambah koleksi. Untuk seorang pemula dan sangat belia dalam urusan tanam menanam ini niatan untuk membenahi tanaman itu sudah berkah tersendiri. Ditemani Gita keponakanku dan Mas Gangga, pagi itu sudah keluyuran ke penjual bunga di Kalijudan. Wih asyik sekali melihat tanaman-tanaman itu, asli aku jadi pengen ke Pacet untuk menambah koleksi, soalnya kapan hari pas ke Pacet sempat ngeliat ada tanaman-tanaman yang cantik-cantik. Akhirnya tiga tanaman dan dua plastik besar pupuk organik kuusung. Ternyata murah bo! Pupuk sekantong plastik sekitar 5 kg itu seharga lima ribu, trus disebelahnya ada juga penjual tanah yang sudah dicampur pupuk sekarung 4 ribu rupiah.

Kubenahi semua tanaman yang telah lama tak terawatt itu, kuganti semua tanahnya dengan tanah baru yang berpupuk, ada sekitar lima belas pot yang kurapikan hari itu, dengan satu janji, someday akan aku buat lebih bagus, karena memang target hari ini hanya untuk membenahi tanaman-tanaman yang semakin kurus. Dan baru hari ini pengakuan itu muncul di diriku bahwa ternyata berkebun itu mengasyikkan sekali. Asyik…Subhanallah….! Asli baru kutahu…!!Dan itu menimbulkan spirit yang luar biasa hari itu minimal untuk diri saya sendiri. Yang semoga bisa mengimbas bagi orang-orang sekitarku. Buktinya memang hari itu saya dapet pujian dari suamiku karena ikan Sumbal seberat 2 kilogram hasil pancingannya sesiang ini di laut Kenjeran kumasak asem-asem. "Mantap Dik!" pujinya. HAtiku berbunga seindah tanaman yang tadi kubenahi!!

Pacarkembang 26.08.09

Berkebun kayaknya akan jadi hobi baruku!

baca selanjutnya...

22.8.07

Berdampingan dengan Sakaratul Maut.

Pengalaman pertamaku berdekat-dekat dengan maut adalah ketika almarhumah ibuku saat itu sedang sakit keras. Telah tiga bulan beliau sakit di Rumah Sakit akibat tekanan gula darahnya yang tidak stabil serta ada luka di kakinya. Penyakit diabetes ini mulai menyerang ibuku sejak usiaku satu tahun. Namun Alhamdulillah dengan diet yang ketat dan obat-obatan baik medis maupun alternatif yang rajin diminumnya membuat ibuku mampu bertahan selama kurang lebih 25 tahun dengan penyakit Diabetes Mellitus.

Saat yang terberat dalam hidupku adalah menjelang wafatnya ibuku, karena saat itu kebetulan saya harus bertugas di Jakarta. Berarti saya semakin berjauhan dari ibuku yang tinggal di Tulungagung.

Hari-hari yang sangat berat, rasanya saya seperti tak berpijak ditanah. Hari-hari saya serasa mengawang, tak tahu apa yang sedang kuhadapi. Saya menjalani hidup hanya mengikut kemana kaki melangkah. Sebuah rutinitas yang sangat berat. Sebenarnya bisa saja saya meminta ijin mengundurkan diri dari proyek di Jakarta untuk menunggui ibu di RS, namun saya sadar dengan mengikut proyek di Jakarta ini berarti income saya agak berlebih dari gaji saya sehingga bisa untuk membantu biaya pengobatan ibu. Rasa pedih, sedih, dan getir di hati saya waktu itu tak dapat kuukur dengan apapun juga. Seolah aku menjalani hidup yang mati, tanpa harapan, tanpa semangat, tanpa kemauan. Sakit ibu kala itu memang pukulan terberat bagi kami. Karena begitu berartinya sosok ibu bagi kami.

Allah Memang Maha Pemurah, karena pada saat-saat kritisnya saya diijinkan untuk sejenak pulang mendampingi ibu di RS. Setiap hari tanpa henti kami bergantian menjagai ibu. Sampai pada suatu titik dimana perawatan RS kami nilai sudah tak memadai lagi, melihat kondisi ibu semakin memburuk, kami mengajak beliau untuk pulang. Kami berharap akan mengusahakan dari pengobatan alternatif. Pagi itu saya pulang dari RS, dan ternyata hari itu pagi terakhir saya di RS karena setelah itu ibu pulang paksa atas persetujuan kami sekeluarga. Sore sekitar qabla Ashar ibu tiba di rumah, kondisinya semakin payah. Kami memasang infus dengan bantuan tetangga yang menjadi perawat. Malam harinya kami bergantian menjaganya, tapi entah mata ini rasanya sulit sekali terpejam. Ketika sejenak mampu terlelap, tengah malam saya dibangunkan oleh kakak ipar saya istri kakakku yang nomor satu. Dia merasa mengantuk, dan meminta saya untuk menggantikannya. Saya tak menyadari bahwa itulah saat-saat terakhir ibuku…Tanpa henti aku membaca ayat-ayat AlQuran membisikkan lembut di telinga ibuku…ahh..jika ingat saat itu air di mata ini menjadi meleleh.

Sekitar jam 3 dini hari semua bangun untuk memiringkan tubuh ibuku yang sepertinya kelelahan. Andai saya tahu bahwa bunyi nafasnya yang berat saat itu adalah nazakh yang semakin dekat. Andai saya tahu Ya Rabb…

Semua tak merasa bahwa ibu akan pergi untuk selamanya, bahkan tiba-tiba seperti tersihir semua sudah berada diperaduaannya kembali untuk tidur. Aku yang sejak tadi menuntun ibu dengan ayat-ayatNya tanpa kantuk sedikitpun, tiba-tiba juga merasa mengantuk, bahkan Abah saat itu memintaku untuk tidur disamping ibu, karena aku terkantuk dipinggir ranjang, takut aku terjatuh. Saat itu semua memang dalam puncak kelelahannya. Lelah lahir maupun batinnya. Seolah ibu tak ingin merepotkan semuanya , beliau pergi begitu tenang. Bahkan tak ada satupun dari kami yang mendengar Adzan Subuh, karena aku terbangun saat ada sesuatu menyentakkan tubuhku. Seperti disentakkan oleh sengatan listrik, dan mampu membuatku terbangun. Refleks kulihat jam dinding menunjukkan jam 05.05, dan secara refleks pula jariku menyentuh lubang hidung ibuku, tak ada nafas yang keluar…Aku terpana!! Sejenak blank…menuju dunia yang seakan sunyi tanpa batas…aku seperti terhempas dalam jurang yang sangat dalam dan sangat lengang… seakan tak percaya bahwa ibuku sudah pergi. Innalillahi wainna ilaihi roji'un. Aku tak segera membangunkan mereka yang sedang terlelap dalam tidurnya, yang mampu kuucap pada saat itu hanyalah, "Abah sudah siang, semua belum sholat!" kataku. Dan seolah patuh dengan kalimatku semua terbangun tergopoh-gopoh, juga seakan baru bangun dari perjalanan panjang. Semua seperti tersentak…Disaat semua sudah terbangun, barulah aku mampu berucap "Abah, ibu sudah tak bernafas lagi !!" Semua terkaget, sejenak terjadi kegaduhan. Kakak-kakaku melompat, seolah tak percaya. Yah titik takdir itu telah berlaku atas ibuku.

Semoga air mata yang tertumpah saat itu menjadi bukti cinta kami padanya, bukan air mata kesedihan. Semoga kekuatan cintanya pada kami akan senantiasa menjadi azimah cinta di dalam dada kami semua. Semoga Allah meridhoi hidup dan akhirnya. Bi Barakatillah. Kejadian itu berlangsung pada tanggal 10 Nopember 2000. Itulah pengalamanku pertamaku mendampingi seseorang dalam titik taqdir kematian. Barangkali sentakan seperti sengatan listrik itu adalah saat paling akhir malaikat Izrail menuntaskan tugasnya, karena dari cerita beberapa teman yang pernah mengalami berdampingan dengan maut memang seperti ada sesuatu yang disentakkan ketika ajal memanggil.


 

Jika pada kesempatan pertamaku berdekat dengan maut tidak secara langsung kulihat dengan mata ku sendiri hanya rasa disekelilingnya, karena kebetulan saya tidur berdampingan dengan ibuku dalam satu ranjang, maka pada kesempatan kedua ini saya benar-benar melihat sendiri bagaimana perjalanan sakaratul maut. Kejadian ini bermula dari Pakdhe suamiku yang pulang dari menunaikan ibadah haji. Karena kondisinya saat masih di Makkah sudah payah (namun Alhamdulillah Pakdhe dan Budhe telah menyelesaikan hajinya) sehingga beliau berdua dipulangkan mendahului jadwalnya. Dan ketika datang juga tak bisa langsung pulang ke Probolinggo karena harus dirawat di RS Haji. Hari Kamis datang dan kondisinya masih baik, bahkan bertambah baik. Hari Sabtu malah sudah bisa guyonan dengan anak-anaknya yang datang dari Probolinggo. Siapa sangka bahwa hari itu adalah hari terakhir kami bercengkerama, hari terakhir kami bersua. Karena malam harinya kondisinya terus drop, bahkan pagi harinya sudah koma, bernapaspun harus dengan bantuan oksigen. Sekitar jam 08.30 pagi itu saya sempatkan ke Rumah Sakit setelah mengantar anakku yang nomor dua ke Lab, karena badannya panas sudah 2 hari.

Sesampai di rumah Sakit kulihat kondisi Pakdhe stabil dalam komanya, napasnya teratur. Disitu sudah ada Budhe istri pakdhe, anak-anaknya, ibu mertuaku yg adik dari Pakdhe, ada suamiku. Bergantian kami membaca ayat-ayat Al-Quran. Sekitar jam 09.30 ada dokter jaga yang memeriksa, sepertinya ada yang gawat, karena dia memanggil perwakilan keluarga, intinya pihak RS meminta persetujuan untuk memindah Pakdhe ke ruang ICU krn kondisinya semakin kritis. Ibu mertuaku sejak tadi sudah membisiki saya dan suami bahwa kayaknya Pakdhe memang sedang berproses untuk kembali kepada Sang Khalik. Ibu mertua ini (beliau sudah almarhumah juga tak lama setelah Pakdhe meninggal) sering kali melihat fenomena orang yang sedang sakaratul maut, sehingga sedikit banyak hapal karakteristik orang-orang yang akan berpulang. Melihat kondisi Pakdhe seperti itu ibu mertuaku meminta seluruh anak-anaknya meminta maaf dan memaafkan Pakdhe, istrinya juga diminta untuk mengikhlaskannya. Saat keluarga Pakdhe sibuk berkonsultasi dengan pihak paramedis, saat itulah saya seperti tersadarkan bahwa waktu Pakdhe semakin dekat. Kuteruskan membaca surat Yasin, dan surat-surat pendek di juz 30, ibu terus memintaku untuk meneruskan membaca Al Qur'an. Beliau sendiri menuntun 2 kalimat syahadat di telinga Pakdhe. Kulihat nafas Pakdhe semakin berat…jika pada saat koma dan harus dengan bantuan oksigen tadi mulut Pakdhe senantiasa menganga, maka pada saat itu Pakdhe seolah tersedak dan bibirnya mengatup. Nafasnya mulai melemah…lemah….kemudian datang paramedis yang membantu membuat sentakan dengan menggunakan alat pacu jantung, beberapa perawat bergantian, menekankan alat itu kedada Pakdhe…dan kuteruskan melantunkan membaca surat Yasin di dekat telinganya dan kuusahakan suaraku selembut mungkin, namun semoga jelas didengarnya, sampai pada ayat "Salaamun khoulam mirrobbirrahiim" seperti ada sentakan kuat sampai saya sedikit terkaget, seperti sengatan lisrtrik yang kurasakan saat meninggalnya ibu dulu. Dan pada waktu yang bersamaan petugas paramedis menyatakan jantung Pakdhe telah berhenti berdetak…Innalillahi wainna ilaihi roji'un…

Sungguh tenang kepergiannya, di saat semua urusannya selesai minimal seluruh anak dan istrinya telah saling memaafkan. Prosesnya begitu cepat dan tenang serasa tak ada hambatan, semoga itu menjadi bukti kemuliaannya di sisiNya. Beliau pergi disaat bacaan ayat yang sangat indah…

" (Kepada mereka dikatakan) Salam, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang"

Sungguh indah Allah menyambut kepulangannya.

Di saat yang lain suamiku bercerita bahwa pada saat aku membaca ayat itu suaraku menjerit, dengan suara meninggi seperti orang berteriak. Dia sendiri kaget dia pikir ada sesuatu yang terjadi padaku. Dan kuceritakan saat-saat itu padanya. Pengalaman batin yang menakjubkan. Sangat luar biasa bagiku.


 

Pengalaman ketiga aku berdekatan dengan maut, saat sahabatku dikantor menghadapi hari-hari akhirnya, walaupun aku tak mendampingi saat terakhirnya namun aku lega telah menunaikan perintah yang tiba-tiba melesak-lesak didada saya, sehari sebelum hari meninggalnya. Entah kenapa saat itu saya ingin sekali mengaji disampingnya, aku utarakan keinginanku dengan teman2 dikantor dan siang itu kami berangkat sama-sama ke sana. Rasanya melihat kondisinya saat itu rasanya waktu kami tak lama lagi untuk tetap bersua. Matanya mulai menguning tanda kanker itu telah menjalar ke levernya, dan tatapan mata itu…seolah aku memandang lorong kesenyapan. Siang itu dia masih tersadar, namun itulah siang terakhir kami berjumpa, kusempatkan mengaji di bibir ranjangnya. Aku hanya mampu berdo'a "Ya Allah berilah yang terbaik bagi hambamu ini" diakhir bacaan Surat Yasinku.

Sore harinya dia koma, dan sesaat sebelum Adzan Isya hape saya berdering mengabarkan dia telah berpulang…Inna lillahi wainna ilahi roji'un.

Segera saya meluncur ke RS Graha Amerta tempat jenazahnya sementara disemayamkan, saya masih sempat memandikannya, mengkafaninya, dan mengantar jenazahnya pulang ke rumahnya untuk disholati dan dimakamkan.

Diatas semua pengalamanku itu hanya satu pinta semoga Allahpun memberikan akhir yang baik bagiku, keluargaku dan seluruh keturunanku. Amin Allahumma amin.

Pacarkembang, 22.08.07


 

baca selanjutnya...

7.8.07

Membuang Mimpi Menjemput Hidayah

Sejak saya menginjakkan bangku SD sekitar kelas IV keatas, setiap tanggal tujuhbelas Agustus ada sebuah ritual yang hanya aku sendiri yang selalu menjalankannya. Tak seorangpun tahu hingga cerita ini kutulis. Ritual yang membuatku mempunyai sebuah mimpi yang sangat kuat. Biasanya setiap tanggal tujuh belas Agustus di sekolah dan instansi-instansi mengadakan Upacara Bendera sekaligus mengenang detik-detik Proklamasi. Sekolah biasanya mengadakan upacara di pagi hari seperti upacara hari Senin. Upacara dimulai jam tujuh dan selesai sekitar jam setengah sembilan, kemudian bubar.

Nah ritual itu kumulai sepulang dari mengikuti upacara tujuhbelasan di sekolah. Aku akan berada di depan televisi menunggu acara Peringatan Detik-detik Proklamasi di Istana Negara. Satu momen yang kutunggu adalah ketika Pasukan Pengibar Bendera mulai mengambil tempat untuk menaikkan bendera Sang Saka. Ada perasaan yang mengharu biru, antara semangat, bangga dan haru serta perasaan aku ingin seperti mereka! Mereka berbaris dan kelihatan sangat gagah. Betapa bangganya bisa menjadi salah seorang diantara mereka yang sedang berbaris itu. Dihadapan orang-orang terpenting di negeri ini, didepan jutaan pemirsa yang pasti melihat acara itu karena seluruh stasiun televisi wajib merelay acara tersebut. (Sekarang masih begitu juga gak ya?). Apalagi seorang dari Pasukan Inti delapan akan berhadapan langsung dengan Presiden untuk menerima lipatan Bendera Merah Putih bersejarah itu. Siapa yang tak bangga?. Saat itu pasti ada sesuatu yang berdentum-dentum di dada saya. Mungkin saya nggak berkedip memandang layar kaca televisi. Dan dentuman-dentuman yang rutin menghampiriku setiap tanggal tujuh belas Agustus di pagi hari saat penaikan Bendra dan sore hari saat penurunan bendera membuatku terobsesi. Terobsesi oleh sebuah keinginan yang lama kelamaan mengendap menjadi sebuah mimpi yang sangat kuat "menghantui". Yah…aku sangatttt ingin menjadi bagian dari Pasukan Pengibar Bendera.

Sedikit banyak saya menyadari bahwa sisi kemaskulinan dalam diri saya sedikit menonjol. Artinya dengan kegiatan yang berbau maskulin saya lebih tertarik. Jika kegiatan disekolah saya lebih tertarik ikut Baris Berbaris atau Pramuka daripada ikut Paduan Suara, itu contoh kecilnya. Atau guru saya waktu SMP memilih saya menjadi Danton daripada menjadi dirijen, atau tugas yang lain saat upacara. Intinya sebelum berjilbab saya adalah sosok yang sangat maskulin alias tomboy. Tapi bukan lesbi lo!

Akhirnya kesempatan itu hadir ketika saya duduk di bangku kelas satu di STM Negeri Perkapalan Sidoarjo. Dari beberapa kandidat petugas Pengibar Bendera saat Upacara di sekolah, sayalah yang terpilih karena postur dan baris-berbaris saya lebih layak dari yang lain. Namun sayang mimpi yang telah lama menghantui saya itu datang pada saat yang tidak tepat. Kesempatan itu hadir ketika saya mulai aktif di kegiatan rohis Sekolah dan di Masjid An Nur. Kesempatan itu datang saat hidayah itu menjemput. Persis disaat saya berazzam untuk segera berbenah dengan pakaian yang lebih menutup aurat. Perang batin masih berkecamuk ketika saya harus mengikuti tes seleksi Paskibraka di tingkat Kecamatan. Harapan yang sangat tinggi oleh semua pihak di sekolah dan Bina Siswa dari PT PAL Indonesia dipikulkan dipundak saya. Kebetulan sekolahku memang menganut dual system, artinya dalam pengelolaan porses belajar mengajar dikelola bersama dengan pihak industri dalam hal ini dengan PT PAL Indonesia. Untuk belajar teori di laksanakan di Kampus STM Negeri Perkapaln Sidoarjo, semnetara untuk prakteknya dilaksanakan di Pusdiklat PT PAL Indonesia.

Seingatku hanya saya siswa perempuan yang dikirim mewakili sedangkan untuk siswa laki-laki ada beberapa, saya tidak ingat persisnya. Harapan itu memang wajar disandangkan di pundak para wakil yang mengikuti seleksi tersebut, karena selama ini kami juga dididik semi militer. Dalam hal baris-berbaris jangan ditanya, hampir tiap hari kami diajarkan. Apalagi kami yang petugas Pengibar Bendera. Akhirnya tibalah hari seleksi itu, dan kalau aku boleh menghitung peta lawan (halah) memang kontestan dari sekolah lain bukan saingan kami dalam hal baris berbaris, namun pada saat sesi wawancara entah mengapa hidayah itu kembali membayangi prose wawancara saya. Saya tahu nggak akan mungkin seorang petugas bendera memakai jilbab (pada saat itu). Dan pada saat yang bersamaan kami juga sedang fight untuk bisa berjilbab disekolah baik teori maupun praktek. Dan satu hal lagi, kami (saya dan teman-teman jilbaber) sudah menjahit seragam sekolah yang panjang saat saya sedang menjalani tes seleksi. Sungguh pilihan yang maha berat.

Bayangkan mimpi yang telah bertahun-tahun menghinggapi itu telah di depan mata, dengan sedikit usaha mimpi itu akan tergenggam! Perang batin yang hebat menyerang saya di kantor Kecamatan siang itu. Namun sungguh Allah tahu benar saat dimana seorang hamba membutuhkaNya. Entah dari mana kekuatan itu hadir, tiba-tiba rasa yang sangat kuat melingkupi saya, rasa bahwa apa yang sedang saya hadapi adalah sebuah ujian tentang kecintaan saya padaNya. Apakah saya akan memperjuangkan mimpi ataukah saya akan memenagkan hidayah. Dan bisa ditebak, saya akhirnya mengalah, saya letakkan ego, saya letakkan mimpi itu dengan sebuah senyum dan kesadaran baru, bahwa kenikmatan akan kebanggaan untuk menjadi seorang Paskibraka bukanlah satu-satunya cara. Akhirnya pada saat sesi wawancara saya sudah terlihat ogah-ogahan, sampai tim Juri memaksa saya untuk melakukan satu saja tes kesenian, bisa menari, menyanyi, atau membaca puisi. Saya bilang "Saya tidak bisa BU?" Entah saya sudah tak punya alasan lagi untuk menghentikan tes seleksi ini. Dan itulah satu-satunya cara yang melintas dibenakku saat itu. "Ayo dong, satu aja, nminimal nyanyi aja, baris berbaris kamu bagus!"Pinta juri saat itu. Saya hanya bisa menggeleng lemah. "Yah sayang padahal PBB kamu bagus, tapi memang salah satu syarat untuk bisa maju ke tingkat Kabupaten harus bisa menguasai salah satu kesenian, Masak sih gak bisa?." Tawarnya untuk yang ketiga kalinya. Dan sekali lagi saya hanya bisa menggeleng, kali ini dengan lebih mantap. Keluar dari ruangan itu ada sebuah kelegaan yang melapangkan dada saya. Yah selamat tinggal mimpi, selamat datang hidayah…


 

Tulisan diatas tak bermaksud untuk mendiskreditkan Paskibraka, saya hanya bermaksud menceritakan pengalaman pribadi tentang bagaimana saya menjemput hidayah, itu intinya.

07 Agustus 2007

Yang mencoba memaknai kemerdekaan sebagai totalitas kita padaNya…..

baca selanjutnya...