22.2.07

2 IBUKU

Adalah Ibu Kusniyah Rahayu, binti Gus Komaruddin yang dalam rahimnya Allah meniupkan ruh-ku dan menitipkan jasadku selama sembilan bulan lebih. Dan dari jalan lahirnya aku mengenal dunia. Dengan sepenuh kasih sayangnya aku tumbuh, aku mencecap nikmat dunia.
Ada ungkapan yang sangat sederhana karena aku tak mampu mengungkap kalimat apalagi yang mampu menggambarkannya tentang sosok ibuku ini.

Ibu,
Jika dunia adalah padang untuk mencari Cinta
Sungguh engkaulah oase bagiku
Untuk sejenak berhenti untuk menghela energi
Dan melanjutkan pencarian
Dalam ruang yang tak berujung dan tak berbatas.

Ibu,
jika akhirat adalah pertemuan Cinta
dalam haribaan Cintamu aku ingin melebur
Karena sungguh yang kurindu bukan jasad yang melekat,
Namun karena kasih sayang dan Cinta
Yang sesungguhnya pancaran Asmau’ul Husna


Dan setelah berjuang melawan diabetes mellitus selama kurang lebih 25 tahun, akhirnya beliau berpulang disampingku hari Jum’at kliwon 10 Nopember 2000. Semoga Allah membalas kebesaran dan keagungan cintanya kepada kami, karena hanya Allahlah sebaik-baik pembalas cinta.

Adalah ibu Musrifah binti Kyai Anwar, yang dalam rahimnya Allah tiupkan ruh suamiku dan menitipkan jasadnya selama sembilan bulan lebih. Dan dari jalan lahirnya suamiku mengenal dunia. Lewat nasabnya anak-anakku terlahir. Dan hubungan kami tak lagi bisa disebut menantu dan mertua, karena yang ada diantara kami hanya cinta. Dengan beliau aku banyak belajar, tentang kehidupan, tentang merawat anak, tentang memasak, bahkan belajar tentang berdampingan dengan sakaratul maut . Beliau ibuku juga. Kebesaran cintaku biarlah Allah dan beliau saja yang tahu. Yang jelas aku sangat mencintai beliau apapaun dan bagaimanapun beliau. Dan aku tersentak kaget tak percaya ketika di subuh hari Ahad tgl 18 Februari 2007 harus mendengar beliau berpulang ke Rahmatullah. Aku menangis, aku sedih karena justru disaat yang bersamaan aku harus menunggui anakku yg nomor dua di Rumah Sakit karena muntaber sejak hari Jum’at. Aku harus merelakan suamiku dan Mas Gangga pulang ke Probolinggo. Dalam hati aku mempertanyakan “Ya Allah Engkau tahu betapa besar cinta ini, kenapa Engkau tak memberi kesempatan kepadaku untuk memberikan penghormatan terakhir kepada beliau? Disaat bersamaan aku seperti disentakkan oleh satu kesadaran baru bahwa “Jika engkau mengaku mencintainya kamu tidak boleh memberikan penghormatan terakhir kepadanya, karena beliau menginginkan penghormatanmu tidak berhenti ketika beliau meninggal. Kalau engkau mencintainya hormatilah beliau sepanjang hayat hidupmu! Kenanglah beliau disepanjang untaian do'amu, Subhanallah.

Apapun dan bagaimanapun beliau-beliau yang kuceritakan diatas adalah wanita-wanita perkasa yang pernah mengukir jiwa ragaku, menjadi sebuah pahatan yang kaya akan lekuk-lekuk kehidupan. Terimakasih, hanya itu yang mampu kuucap, dan kalaupun kelak di akhirat Allah memberikanku kesempatan untuk bersaksi tentang dua orang itu, aku ingin berkata, Ya Allah, Aku bersaksi mereka berdua telah mengantarku mengenal cintaMu, maka cintailah mereka berdua, dan lapangkanlah kuburnya, kumpulkanlah mereka bersama kekasihMu. Amin.

Ahad, 18 Feb 2007
Aku yang tengah berduka, yang merasakan sunyi di hatiku, dan ada sebagian hatiku yang terhempas hilang

baca selanjutnya...

6.2.07

Belajar Rambu-rambu Lalu Lintas


Pada acara pertemuan di sekolah Mas Gangga, diuraikan agenda kegiatan selama semester genap ini. Salah satunya agenda di bulan ini adalah Lomba Balita Cerdas, dan untuk usia Mas Gangga yang empat tahun lebih dikit salah satunya adalah Reli Sepeda. Dia langsung antusias, tapi saya bilang sama Mas Gangga relinya tidak untuk balapan nyampe, tapi untuk belajar rambu-rambu lalu lintas. Boleh juga lomba ini pikirku. Pas lagi on the way, kesempatan untuk belajar rambu-rambu ama Mas Gangga. Kurang lebih dialognya gini, :
“Kalo lampu merah artinya apa Mas?”pas kita berhenti di lampu merah
“Ya, berhenti,”jawabnya pede. “Good,”jawabku.
“Kalo lampu kuning boleh jalan nggak?” terusku. “Ya boleh, tapi harus hati-hati!” jawabnya. “Sip,”jawabku. Kalau hijau emang dia udah tau, boleh jalan.
Pas di depan Delta Plaza ada rambu-rambu S dicoret, Ayahnya nerangin bla-bla-bla. Trus ada huruf P dicoret, trus apa artinya kalau gak dicoret, n so on. Dengan praktek langsung dijalan, hasilnya lumayan, dengan satu kali jalan dia sudah banyak yang hapal. Saking senengnya setiap dijalan ada rambu-rambu pasti ditanyain ke Mas Gangga. Dan dengan senang hati dia menjawab. Padahal biasanya kalo berbau belajar gitu dia suka bosen. Pas di jalan Urip Sumoharjo jalan agak macet karena ada Pasar Keputran yang parkirnya agak tumpah ke jalan raya, ada rambu-rambu P dicoret, “Nah kalo itu artinya apa Mas?” tanyaku. “Dilarang emm Parkir!” jawabnya mantap, tapi saking asyiknya kita nggak liat kalo dibawah rambu-rambu itu berjejer sepeda motor yang diparkir. Begitu sadar, dalam hati aku berkata semoga Mas Gangga nggak liat. Tapi belum selesai aku mbatin, terdengar suaranya
“Tapi kok banyak sepeda motor yang parkir di situ? Kenapa Ayah?” Nah kena kau?!
“Yah…itu contoh yang nggak bener Mas, mestinya gak boleh parkir disitu.”jawab Ayah dengan agak manyun.
“Kok nggak ditangkap Pak Polisi?”tanyanya lagi, kayaknya dia belum puas.
Nah lo?!!Gimana nih Pak Polisi?

Ahad, 4Februari 2007
Dalam sebuah perjalanan usai menjenguk sahabat yg sedang berjuang melawan Ca Mamma stadium 4
.

baca selanjutnya...